SuaraKaltim.id - Lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Balikpapan menuai sorotan tajam.
Tidak hanya pengamat ekonomi, tetapi juga anggota DPRD Kaltim yang khawatir kebijakan ini bisa berimbas pada stabilitas sosial masyarakat.
Sekretaris Komisi II DPRD Kaltim, Nurhadi, menegaskan bahwa meski lembaga legislatif provinsi tidak memiliki kewenangan langsung terhadap PBB di tingkat kota, ia tetap merasa bertanggung jawab menyuarakan keresahan warga Balikpapan sebagai daerah pemilihannya.
“Kenaikan PBB ini awalnya mencuat dari laporan warga dan media. Salah satu kasus di Balikpapan Utara, pajak yang semula hanya Rp 300 ribu tiba-tiba melonjak jadi Rp 9,5 juta. Lalu kami cek juga di Balikpapan Timur, dari Rp 500 ribu jadi Rp 12,9 juta. Itu sekitar 2.500 persen kenaikannya. Ini sangat tidak masuk akal,” ungkap Nurhadi, disadur dari Presisi.co--Jaringan Suara.com, Kamis, 21 Agustus 2025.
Baca Juga:Atasi Banjir, Balikpapan Bangun Saluran Inhutani yang Ramah Pejalan Kaki
Nurhadi mengingatkan agar pemerintah kota tidak menutup mata terhadap pola kenaikan masif yang dialami warga.
Laporan para Ketua RT, katanya, menunjukkan lonjakan terjadi di berbagai titik, bukan hanya di zona komersial sebagaimana klaim Pemkot.
Ia menuntut adanya kejelasan dasar perhitungan pajak, bukan sekadar alasan teknis.
“Kami tidak bisa menerima jawaban bahwa ini hanya kesalahan input atau salah catat. Kalau hanya satu atau dua kasus, bisa dianggap kesalahan teknis. Tapi ini masif. Harus dijelaskan, apakah karena kenaikan NJOP, zonasi baru, atau memang ada kebijakan khusus? Dan yang terpenting mengapa kenaikannya sedrastis itu,” tegasnya.
Menurutnya, kenaikan yang tidak diiringi transparansi justru bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik.
Baca Juga:DLH Balikpapan: Bakar Sampah Bisa Kena Denda Rp50 Juta atau Kurungan 6 Bulan!
Ia menyinggung potensi kerawanan sosial, seperti penolakan warga yang pernah terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
“Kita tidak mau ada kejadian seperti di Kabupaten Pati. Di sana, baru wacana kenaikan PBB saja sudah ditolak keras warga. Jangan sampai Balikpapan mengalami hal yang sama. Pemerintah kota harus responsif dan DPRD Balikpapan harus cepat tanggap,” ucapnya.
Pandangan kritis juga datang dari akademisi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo.
Ia menilai kebijakan pajak tidak bisa dijadikan solusi instan bagi peningkatan pendapatan daerah.
“Ini cara paling gampang dan tradisional. Pemerintah perlu strategi yang lebih kreatif untuk meningkatkan PAD, bukan langsung membebani masyarakat lewat pajak,” ujarnya.
Purwadi mengingatkan bahwa daya beli masyarakat masih rapuh.