Jauh dari Harapan, CSR di Kaltim Dinilai Gagal Mengurangi Jurang Kesejahteraan

Masyarakat juga didorong berani melaporkan dugaan penyimpangan.

Denada S Putri
Selasa, 25 November 2025 | 22:41 WIB
Jauh dari Harapan, CSR di Kaltim Dinilai Gagal Mengurangi Jurang Kesejahteraan
Ilustrasi CSR di Kaltim. Sumber: Shutterstock)
Baca 10 detik
  • Banyak perusahaan di sektor tambang, sawit, dan kehutanan dinilai hanya melakukan “window dressing” CSR, karena program yang dijalankan tidak transparan, tidak terukur, dan tidak memberikan dampak nyata bagi masyarakat, terutama kelompok rentan.

  • Standar ESG dan SDGs yang seharusnya menjadi acuan tata kelola CSR jarang diterapkan, sehingga pengawasan, perencanaan, dan penggunaan anggaran kerap tidak tepat sasaran, ditambah lemahnya akses masyarakat terhadap dokumen CSR.

  • Pemerintah daerah didesak memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan PP 47/2012, sementara masyarakat diminta aktif melaporkan dugaan penyimpangan karena banyak perusahaan belum mematuhi prinsip dasar tata kelola CSR, termasuk akuntabilitas dan efektivitas program.

SuaraKaltim.id - Kritik terhadap pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) kembali menguat.

Sejumlah organisasi masyarakat adat dan kelompok pemuda menilai, banyak perusahaan tambang, perkebunan sawit, hingga sektor kehutanan belum memenuhi kewajiban sosial mereka secara nyata.

Program yang diharapkan menjadi instrumen pengurangan dampak industri malah dinilai penuh formalitas, minim akuntabilitas, dan tidak memberikan manfaat berarti bagi warga sekitar operasi perusahaan.

Khalif Sardi dari Pemuda Adat Jahab menilai kualitas CSR perusahaan masih jauh dari harapan.

Baca Juga:Truk Sawit di Kaltim Wajib Pakai Plat KT untuk Tingkatkan Pendapatan Daerah

Ia menyoroti praktik yang menurutnya hanya menampilkan kepatuhan semu tanpa menyentuh persoalan mendasar masyarakat.

"Yang terjadi di lapangan adalah window dressing CSR. CSR ini tidak berdampak, tidak terukur, tidak berkelanjutan dan tata kelolanya tidak transparan," kata kepada SuaraKaltim.id, Selasa, 25 Desember 2025.

Ia menekankan bahwa perusahaan sebenarnya sudah memiliki rujukan jelas melalui standar Environmental Social Governance (ESG) dan Sustainable Development Goals (SDGs).

Namun, pedoman tersebut justru jarang dijadikan dasar perencanaan.

"Pembangunan dan tata kelola CSR seharusnya berdampak terukur, berkelanjutan serta transparan agar bisa memitigasi konflik antara pelaku usaha dan masyarakat," ujarnya.

Baca Juga:Gubernur Kaltim Janji Insentif Guru Non ASN Berlanjut hingga 2030

Menurut Khalif, kondisi sosial di beberapa desa sekitar tambang menunjukkan ketidakefektifan program.

Kelompok rentan seperti masyarakat miskin dan komunitas adat belum tersentuh bantuan, padahal mereka yang paling membutuhkan.

"Seharusnya CSR ini menjadi solusi. Bukan menciptakan konflik atau menambah masalah yang tidak dilaporkan ke pemerintah," katanya.

Ia juga menilai kehadiran industri ekstraktif di Kaltim seharusnya diikuti komitmen untuk menjaga budaya lokal dan keberlanjutan lingkungan.

Namun banyak perusahaan dinilai masih mengabaikannya.

"CSR itu harusnya meningkatkan ekonomi, budaya, dan lingkungan masyarakat. Tapi banyak perusahaan yang tidak menjalankan itu," jelasnya.

Kesenjangan antara kewajiban CSR dan realisasi di lapangan makin terlihat dengan banyaknya perusahaan yang beroperasi di Kukar dan Kaltim.

Program yang seharusnya menjadi jembatan antara dunia usaha dan masyarakat dinilai belum mampu mengurangi jurang kesejahteraan.

Desakan agar pemerintah daerah memperketat pengawasan pun menguat.

Penguatan kontrol terhadap pelaksanaan PP 47 Tahun 2012 dianggap penting untuk memastikan perusahaan benar-benar menjalankan kewajibannya.

Masyarakat juga didorong berani melaporkan dugaan penyimpangan agar penggunaan dana sosial tepat sasaran.

Kritik serupa datang dari Ketua Asosiasi Karya Muda Mahakam, Aspin Anwar.

Ia menilai persoalan utama CSR adalah lemahnya penerapan prinsip tata kelola di tingkat perusahaan. Menurutnya, dasar hukum sudah jelas.

"Perusahaan itu wajib melaksanakan CSR dan melaporkannya. Itu sudah ada dasar hukumnya, tidak bisa tidak," ujar Aspin.

Ia menjelaskan, tata kelola CSR ideal mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang berjalan konsisten.

"Konsep tata kelola dana CSR memerlukan perencanaan, implementasi dan pengawasan yang baik," jelasnya.

Aspin menambahkan bahwa perusahaan harus mengidentifikasi seluruh pemangku kepentingan dan memastikan anggaran tepat guna.

"Anggaran itu harus digunakan secara efektif. Jangan sampai dana CSR itu bukan untuk masyarakat tapi buat pribadi mereka atau oknum," katanya.

Ia menegaskan pentingnya tim khusus dalam perusahaan yang berkompeten menangani CSR.

"Perusahaan wajib memiliki tim CSR yang terdiri dari karyawan yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang CSR," tegasnya.

Lima prinsip—akuntabilitas, keterlibatan stakeholder, keterbukaan informasi, efektivitas, dan efisiensi—menurutnya belum sepenuhnya dijalankan banyak perusahaan.

"Saat ini apakah lima prinsip tata kelola CSR itu sudah dijalankan. Itu pertanyaannya," sebutnya.

Kurangnya akses masyarakat terhadap dokumen CSR juga membuat pengawasan semakin lemah.

Program yang berjalan pun sering tak menjawab kebutuhan warga.

"Melihat dari sisi masyarakat, belum begitu maksimal. Banyak yang belum tersentuh," ungkapnya.

Sebagai solusi jalur aduan, Aspin menyarankan masyarakat memanfaatkan mekanisme resmi di legislatif.

"Masyarakat mau mengadu ke situ saja, ke anggota dewan. Mereka wajib memfasilitasi karena mereka dipilih oleh rakyat," tutupnya.

Kontributor: Giovanni Gilbert

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini