Scroll untuk membaca artikel
Sapri Maulana
Rabu, 17 Maret 2021 | 17:22 WIB
Aksi Teatrikal menolak pencabutan FABA dalam daftar bahan berbahaya atau Limbah B3, oleh aktivis peduli lingkungan, di depan Kantor Gubernur Kaltim. [Suara.com/Jifran]

SuaraKaltim.id - Puluhan aktivis peduli lingkungan dari berbagai organisasi menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Gubernur Kaltim, Rabu (17/03/2021). Massa mengkritik keputusan Presiden Joko Widodo menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dalam daftar bahan berbahaya dan beracun atau Limbah B3.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Demonstran menyebut, kebijakan itu berpotensi melonggarkan kesempatan korporasi melanggar aturan pengelolaan limbah.

"Tanpa ada kebijakan itu saja limbah sudah dibuang sembarang, apalagi dibantu dengan kebijakan. Kita sebagai warga dipaksa siap berdampingan dengan racun berbahaya, mulai dari batu bara hingga sawit,"kata seorang orator dalam aksi tersebut.

Humas Aksi Buyung Marajo memaparkan, terdapat sekitar 1.400 izin pertambangan dan 184 perkebunan kelapa sawit yang ada di Kaltim.

Baca Juga: Polda Kaltim Tangkap Pembawa Sabu Kelas Sultan, Harganya Rp 2,5 Miliar

Buyung menilai, kebijakan tersebut diperkirakan justru akan menambah beban Kaltim mengenai permasalahan lingkungan. Mereka menuntut agar limbah itu kembali ke dalam daftar limbah B3.

"Harus dikembalikan bahwa itu adalah limbah berbahaya,"ungkapnya.

Koordinator Pokja 30 ini juga mengkritisi pernyataan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PLSB3), Rosa Vivien Ratnawati. Pasalnya FABA itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah, serta restorasi tambang.

Bagi Buyung, itu sebagai upaya menggiring opini publik untuk menilai FABA itu tidak berpengaruh dan tidak berbahaya.

"Ini kebijakan saya bilang sebagai akrobat ugal-ugalan. Jorok ini," tegasnya.

Baca Juga: Peneliti ITS Apresiasi Pemerintah yang Cabut FABA dari Kategori Limbah B3

Lebih lanjut dijelaskan bahwa sebetulnya penetapan aturan ini tidak terlepas dari desakan simultan sejak pertengahan tahun  2020 oleh Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) termasuk Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) dan 16 Asosiasi Industri meminta FABA dikeluarkan dari Daftar Limbah B3 yang menjadi bagian di dalamnya.

Keputusan itu dinilai berpihak pada industri batubara sebagai kabar buruk bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, dan masa depan transisi energi bersih terbarukan nasional.

"Ini adalah bagian dari Paket Kebijakan Besar (Grand Policy) yang secara sistematis dirancang untuk memberikan keistimewaan bagi industri energi kotor batubara mulai dari hulu hingga ke hilir yang berusaha membajak Rencana Undang-Undang Energi Baru Terbarukan, bertujuan agar industri energi kotor batubara dapat terus mengeruk untung berganda," papar Buyung.

Ditempat yang sama, Direktur WALHI Kaltim Yohana Tiko menjelaskan, pada kebijakan yang sudah ada saja kata dia implementasi tidak maksimal, belum lagi dengan kebijakan tersebut.

Bagi dia, kebijakan itu justru negara ikut mengamini soal masifnya kerusakan lingkungan.

"Itu dampak di Kaltim pasti akan semakin masif. Kaltim ini Bukan saja batu bara tapi juga sawit juga banyam. Pengelolaan limbah juga tidak baik, apalagi dg Perpres ini," terangnya.

Menurut dia Harusnya Pemprov Kaltim sejak awal menolak Omnibus Law. Karena PP tersebut merupakan turunannya.

"Karena itu memang Pemerintah Provinsi tidak ada kekuatan jika ke depan menolong rakyatnya. Karena semua kebijakan kembali kepusat. Banyak dampak kedepan Pemprov tak bisa berbuat banyak. Karena kebijakan semua di pusat," tuturnya.

Kontributor : Jifran

Load More