SuaraKaltim.id - Diguyur hujan selama hampir 5 jam, Kota Tepian mengalami banjir terparah untuk tahun ini. Sebanyak 53 titik terendam saat hujan turun, Minggu (29/8/2021) malam.
Fenomena ini pun disorot oleh Yustinus Sapto Hardjanto, pemerhati sungai, danau, rawa (SADAR). Menurutnya, fenomena ini bukanlah hal asing bagi Kota Peradaban, Samarinda. Alasannya, tak lain karena karakter geografis kota ini yang berada di perlembahan.
"Banjir adalah bagian dari kondisi iklim di Samarinda," ungkapnya, Senin (30/8/2021).
Katanya, jika kini banjir menjadi masalah, hanya ada dua alasan. Pertama, kota ini tengah berkembang. Kedua, kota ini dikembangkan dengan konsep yang mengingkari realitas sistem keairan dan pengaliran alamiahnya.
Baginya, paradigma membangun kota ini tidak berbasis model yang ramah air. Bentuk tidak ramah air yang ia maksud ialah penggunaan atau konversi lahan yang tidak berkesesuaian dengan air.
"Salah satunya adalah konversi rawa menjadi daratan. Konversi ini tidak dikompensasi sehingga ruang air menjadi hilang," ujarnya.
Bentuk lain yang ia jadikan contoh adalah perkerasan permukaan lahan secara masif. Ia mengatakan, lahan perkotaan sebagian besar mengalami perkerasan.
Dimana beberapa lahan kota ditutupi oleh semen. Sehingga, air hujan yang turun sebagian besar menjadi air permukaan (run off).
"Dan badan-badan air, baik alami maupun buatan tidak lagi cukup untuk menampung air limpasan ini maka terjadilah banjir," jelasnya.
Baca Juga: Samarinda Diguyur Hujan 5 Jam, 53 Titik Terendam Banjir, 2 Tiang Listrik Tumbang
Ia memaparkan, banjir pada dasarnya karena koefisien air permukaan yang tinggi lantaran infiltrasi ke dalam tanah rendah. Air permukaan yang tinggi tersebut, tidak mempunyai ruang tampung sementara, karena rawa atau danau telah dikonversi menjadi daratan.
Tak hanya itu, menurutnya lagi cara pemerintah mengatasi tidak sesuai dengan masalahnya. Alih-alih melindungi wilayah tangkapan air atau menyediakan ruang tampung sementara air, pemerintah justru lebih fokus pada alur sungai tertentu.
"Contohnya Karang Mumus. Padahal banjir tidak seluruhnya berhubungan dengan Karang Mumus," ucapnya.
Dirinya menyatakan, konsep atau model penanganan banjir pemerintah saat ini adalah mengeringkan. Yang berarti, membuat aliran air permukaan bisa secepat mungkin dibuang ke laut.
Namun baginya hal itu sulit terjadi. Karena alur sungai yang ada di Samarinda ialah landai.
"Jadi tak usah heran kalau tiap tahun titik banjir akan bertambah seiring dengan bertambahnya konversi lahan dan perluasan perkerasan permukaan tanah dengan semen," lugasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- Jordi Cruyff Sudah Tinggalkan Indonesia, Tinggal Tandatangan Kontrak dengan Ajax
- 5 Shio yang Diprediksi Paling Beruntung di Tahun 2026, Ada Naga dan Anjing!
- 5 Sabun Cuci Muka Wardah untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Sehat dan Awet Muda
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
Terkini
-
3 Tipe Mitsubishi Xpander Bekas Dicari Bapak-bapak dan Anak Muda Dinamis
-
5 Mobil Bekas di Bawah 100 Juta Punya Sunroof buat Keluarga, Anak-anak Pasti Suka!
-
6 Mobil Kecil Bekas buat Wanita Selain Honda Jazz, Stylish dan Bertenaga
-
Kabar Gembira, UMP Kaltim 2026 Diprediksi Tembus Rp3,8 Juta
-
5 Sepatu Lari Lokal Nyaman untuk Segala Medan, Ada Pilihan Dokter Tirta