SuaraKaltim.id - Beredar pemberitaan soal pejabat aktif di Samarinda memobilisasi para RT di Kota Tepian untuk pencalegan anaknya di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Melansir dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, salah satu pejabat Kota Samarinda berinisial ND, pernah mengundang Ketua RT se-Samarinda berjumlah 1.992 orang. Mereka hadir dalam kegiatan Refleksi Akhir Tahun Pemkot Samarinda di Convention Hall Sempaja, Kota Samarinda, Sabtu (23/12/2023) lalu.
Dalam pidatonya, ND menyampaikan bagaimana progres bantuan dana ke seluruh RT, melalui program unggulannya, yakni setiap RT berhak menerima setidaknya Rp 100 juta per tahun untuk pemberdayaan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Anggota DPRD Kota Samarinda Anhar SK mengaku hal tersebut sudah tidak wajar. Di wawancara melalui telepon, anggota Komisi 3 tersebut menyesali liputan investigasi yang tak memperjelas nama pejabat tersebut.
"Saya sih melihat, yang jelaskan begini, ada yang ingin saya koreksi. Pejabat yang mana, siapa? Kalau ada penelusuran yang valid (dan) yang konkret, yah disebut saja (nama pejabatnya). (Jangan) inisial-inisial. Nanti kalau (dikasih) inisial A, bisa juga Anhar. Gimana? Saya sudah tahu kode etik jurnalistik, tapi kalau sudah valid (dan) konkret, kenapa tidak menyebut nama saja gituloh," ucapnya, disadur Jumat (19/01/2024).
Ia menyebut, mobilisasi seperti ini sudah terjadi di kepemimpinan nasional. Kemudian, dicontoh oleh kepemimpinan di daerah.
Ia memberikan contoh soal kasus Gibran Rakabuming Raka yang mencalonkan diri sebagai wakil presiden (Wapres). Ia menganggap, Gibran disuruh oleh sang ayah, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kemudian, memang, kalau saya sih melihat, jangan kan pejabat daerah, (Presiden) Jokowi saja menyuruh anaknya untuk jadi wakil presiden kok. Negara kita ini kan sekarang (politiknya sudah) rusak. Karena di level atas saja, di pimpinan nasional sudah begitu," ujarnya.
Ia menyindir, peristiwa mobilisasi yang terjadi di daerah, khususnya Samarinda, tak perlu terlalu disorot. Alasannya, karena di nasional juga sudah terlihat.
Baca Juga: Ada 201 Unit Motor Dibagikan Basri Rase untuk Ketua RT di Bontang Selatan
Ia menyebut, mobilisasi seperti itu bukan hal yang tabu. Walaupun etika politik dan aturannya tidak boleh.
"Apalagi PNS untuk menjadi (dan terlibat) politik praktis. Jadi, kita agak repot mengomentari itu. Ini kan hampir semua pejabat begitu kok. Makanya memang, ada dulu aturan, tapi sudah dirubah, kalau Bapaknya Gubernur, anaknya tidak boleh mencalonkan dulu. Ada jeda 5 tahun, tapi sudah dirubah aturan itu. Aturan itu yang bikin yang punya kepentingan," jelasnya.
Ia juga membeberkan arti RT sendiri. Ia menjelaskan, RT bukan bagian dari pemerintahan. Namun bekerja untuk pemerintah.
"Jadi kalau sekarang, mau disorot, yah benahi dulu yang ada di pusat deh. Di pusat bagaimana, di Mahkamah Konstitusi (MK) dipertontonkan hal-hal yang menurut kita menjijikkan, tapi tetap dilalui. Kalau sekarang ada dicontoh di daerah, yah saya pikir kepemimpinan kita di nasional (juga) bobrok. Ini contoh kepemimpinan nasional yang tidak baik, ditarik ke daerah,"
Ia menyinggung, pejabat yang anggota keluarganya mengikuti pencalegan, tak perlu berbicara banyak untuk berkampanye. Lantaran, semua itu terlihat dari gestur politik.
Seperti, omongan dan posisi politik. Ia menyatakan, semua itu memiliki cara kampanye yang berbeda.
"Artinya dia tak perlu ngomong. Itu kan gestur-gestur politik (mulai terlihat). Ada dari omongan, ada dari posisi politik. Cara mengkampanyekannya tentu beda supaya tidak berseberangan dengan undang-undang gituloh," tambahnya.
Ia melanjutkan, mobilisasi seperti ini terjadi di mana-mana. Penelusuran yang terbuka memang perlu dilakukan.
Ia juga mempertanyakan keberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang seharusnya bisa mengawasi hal-hal tersebut. Ia meminta agar Bawaslu bisa bertindak lebih lanjut.
"Kalau sekarang terjadi Samarinda seperti itu, menurut saya, itu baunya di mana-mana. Kalau sekarang ada penelusuran, dibuka aja siapa (pejabatnya). Terus sanksi hukumnya apa. Lebih bagus transparan, jangan inisial-inisial. Kalau sudah memobilisasi, menurut saya sudah tidak wajar. Di mana Bawaslu? Di mana Panwaslu? Itu karena ranahnya di pengawasan. Siapa yang diberikan (pengawasan) yah Panwaslu," lugasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 3 Pemain Keturunan yang Menunggu Diperkenalkan PSSI usai Mauro Zijlstra
- 'Ogah Ikut Makan Uang Haram!' Viral Pasha Ungu Mundur dari DPR, Benarkah?
- Usai Kena OTT KPK, Beredar Foto Immanuel Ebenezer Terbaring Dengan Alat Bantu Medis
- Eks Feyenoord Ini Pilih Timnas Indonesia, Padahal Bisa Selevel dengan Arjen Robben
- Terbukti Tak Ada Hubungan, Kenapa Ridwan Kamil Dulu Kirim Uang Bulanan ke Lisa Mariana?
Pilihan
-
Hasil Super League: Brace Joel Vinicius Bawa Borneo FC Kalahkan Persijap
-
Persib Bandung Siap Hadapi PSIM, Bojan Hodak: Persiapan Kami Bagus
-
5 Fakta Kekalahan Memalukan Manchester City dari Spurs: Rekor 850 Gol Tottenham
-
Rapper Melly Mike Tiba di Riau, Siap Guncang Penutupan Pacu Jalur 2025
-
Hasil Super League: 10 Pemain Persija Jakarta Tahan Malut United 1-1 di JIS
Terkini
-
Uji Coba di 38 Titik, Samarinda Matangkan Sistem Parkir Berlangganan
-
PPU Hadapi 101 Ton Sampah per Hari, Apa Kunci Penopang Kebersihan IKN?
-
AJI Kritik Pernyataan Rahmad Masud Soal Berita PBB: Hak Jawab atau Dewan Pers
-
Tambang Ilegal di Kukar Tak Kunjung Tuntas, Kades Santan Ulu: Lagu Lama Mas
-
1.453 Pelajar PPU Terima Beasiswa, Disiapkan Jadi SDM Unggul untuk IKN