SuaraKaltim.id - Aktivitas bongkar muat batu bara antar kapal atau Ship to Ship (STS) di perairan Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menjadi sorotan.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim menilai kegiatan ini sebagai salah satu sumber pencemaran lingkungan yang luput dari pengaturan spesifik dalam regulasi yang ada, dan karena itu memerlukan pengawasan ekstra.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup DLH Kaltim, Rudiansyah, di Samarinda, Senin, 4 Agustus 2025.
"Dari keseluruhan tahapan kegiatan batu bara, aktivitas di perairan, khususnya saat STS, dan pembersihan tongkang, memiliki kontribusi terhadap pencemaran," ujarnya disadur dari ANTARA, Selasa, 5 Agustus 2025.
Ia menyoroti polusi debu batu bara sebagai persoalan utama dalam kegiatan transfer antar kapal tersebut.
Masalah paling mencolok terjadi saat batu bara dipindahkan dari tongkang ke kapal induk menggunakan grab crane, di mana ketinggian alat dan celah antara kedua kapal rawan menjadi titik tumpahan dan pelepasan debu ke perairan.
Guna menekan dampak negatif, DLH menyarankan perusahaan tambang menggunakan teknologi penyemprot di area pemuatan.
"Selain itu, perlu dipastikan alat angkut tertutup rapat dan celah antara tongkang dengan kapal induk ditutup dengan lapisan pelindung untuk mencegah material jatuh ke laut," jelasnya.
Tidak hanya STS, DLH Kaltim juga menolak praktik pembersihan sisa batu bara dari tongkang dengan cara memindahkannya ke kapal lebih kecil.
Baca Juga: Penyegelan Kantor Maxim Picu Aksi Protes di Kantor Gubernur Kaltim
Rudiansyah menyebut metode tersebut tidak sesuai dengan aturan pengelolaan limbah, dan berpotensi menjadi celah penyimpangan yang menimbulkan pencemaran tambahan.
"Kami memandang sisa batu bara itu bukan limbah dalam pengertian yang dimaksud undang-undang, sehingga metode pembersihannya pun harus ditangani secara khusus oleh perusahaan, bukan dibuang atau dipindahkan sembarangan," tegasnya.
Ia mengungkapkan bahwa DLH Kaltim sejak 2013 tidak pernah memberikan izin untuk aktivitas semacam itu, sebagai bentuk konsistensi terhadap perlindungan lingkungan laut.
Persoalan makin kompleks karena payung hukum yang ada dinilai belum mencakup seluruh rantai logistik batu bara, terutama di wilayah laut.
Rudiansyah menyoroti bahwa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 4 Tahun 2012 belum secara spesifik mengatur aktivitas pengangkutan hingga STS.
Regulasi itu, lanjutnya, hanya mengatur kegiatan di wilayah tambang dan reklamasi, padahal aktivitas seperti STS kerap terjadi di luar konsesi tambang—area yang minim pengawasan formal.
Berita Terkait
Terpopuler
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- 7 Sepatu Murah Lokal Buat Jogging Mulai Rp100 Ribuan, Ada Pilihan Dokter Tirta
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
Pilihan
-
Indosat Gandeng Arsari dan Northstar Bangun FiberCo Independent, Dana Rp14,6 Triliun Dikucurkan!
-
Kredit Nganggur Tembus Rp2,509 Triliun, Ini Penyebabnya
-
Uang Beredar Tembus Rp9891,6 Triliun per November 2025, Ini Faktornya
-
Pertamina Patra Niaga Siapkan Operasional Jelang Merger dengan PIS dan KPI
-
Mengenang Sosok Ustaz Jazir ASP: Inspirasi di Balik Kejayaan Masjid Jogokariyan
Terkini
-
7 Mobil Bekas Ground Clearance Tinggi: Aman Banjir, Nyaman di Segala Medan
-
5 Mobil Bekas 3 Baris 50 Jutaan dengan Suspensi Empuk, Nyaman Bawa Keluarga
-
Xiaomi 17 Ultra Segera Diluncurkan: Kamera Leica, Chip Snapdragon 8 Elite Gen 5
-
4 Mobil Bekas dengan Sunroof Mulai 30 Jutaan, Kabin Luas Nyaman buat Keluarga
-
6 Mobil Bekas untuk Pemula atau Pasangan Muda, Praktis dan Serba Hemat