Denada S Putri
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 15:31 WIB
Salah satu warga memasang bendera Jolly Roger dari One Piece. [Ist]

SuaraKaltim.id - Menjelang peringatan hari lahir Indonesia, muncul fenomena unik yang menyita perhatian publik: pengibaran bendera bajak laut Topi Jerami dari serial anime One Piece.

Bagi sebagian orang, aksi ini hanyalah bentuk ekspresi fandom.

Namun, reaksi keras dari sebagian aparat menunjukkan betapa sebuah simbol fiksi bisa dianggap mengguncang kenyamanan kekuasaan.

Di balik kisah petualangan dan fantasi, One Piece menyuguhkan narasi politik yang relevan dengan kenyataan hari ini.

Pemerintah Dunia dalam cerita digambarkan sebagai kekuasaan absolut yang menekan dan menutup-nutupi kebenaran—gambaran yang tak jarang dipersepsikan mirip dengan praktik oligarki di Indonesia.

Sebaliknya, kelompok bajak laut dan Revolusioner hadir sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.

Fenomena pengibaran bendera tengkorak Topi Jerami pun akhirnya bukan hanya sekadar hobi budaya populer, melainkan bisa dibaca sebagai simbol kritik.

Ironisnya, semangat perlawanan yang lahir dari dunia fiksi justru menghadapi respons represif di dunia nyata.

Boleh atau Tidak Mengibarkan?

Baca Juga: Satu Kecamatan, Satu Koperasi Merah Putih: Target Baru Pemkab Paser

Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menegaskan bahwa pengibaran bendera One Piece tidak dilarang undang-undang, asalkan posisinya tidak melebihi atau lebih besar dari Bendera Merah Putih.

“Pengibaran bendera itu tidak dilarang selama tidak lebih tinggi atau lebih besar dari bendera Merah Putih. Dalam banyak kasus, posisi bendera One Piece tetap berada di bawah Merah Putih,” jelas Castro, sapaan akrabnya.

Ia juga menekankan, tidak ada ketentuan hukum yang menyebutkan larangan terhadap bendera One Piece. Simbol tersebut tidak merepresentasikan negara asing maupun organisasi terlarang.

“Bagaimanapun, yang namanya bendera negara itu harus ditempatkan lebih tinggi dibanding bendera-bendera yang lain. Mau dia bendera partai politik kek, atau remas kek. Ini juga bukan bendera palu arit,” tambahnya.

Simbol Fiksi, Kritik Nyata

Pengamat politik Universitas Mulawarman, Saipul Bahtiar, menilai fenomena ini lebih dari sekadar fandom.

Load More