SuaraKaltim.id - Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) sudah memasuki tahap awal. Secara keseluruhan berdasarkan perencanaan pemerintah, mega proyek tersebut akan menelan dana sekitar Rp 466 Tirilun.
Di mana, 19,2% dibebankan dari APBN atau senilai Rp 89,4 triliun, KPBU sebesar 54,4% atau sekitar Rp 253,4 Triliun dan dari Swasta sebesar 26,4% atau sekitar Rp 123,2 Tirilun. Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menyebut, pihak Swasta yang dimaksudkan seharusnya berbentuk Foreign Direct Investment (FDI).
Namun, menurutnya, Kepala Otorita IKN Nusantara Bambang Susantono justru menarasikan hal yang bertolak belakang dan tidak masuk akal.
"Kepala otorita IKN, Bambang Susantono mengusulkan ide dana urunan (crowdingfund) untuk membangun IKN. Hal ini sangat aneh karena dana urunan membutuhkan konsensus dari publik sementara penyusunan UU IKN dinilai tidak partisipatif karena terbukti digugat oleh kelompok masyarakat," katanya, melansir dari WartaEkonomi.co.id--Jaringan Suara.com. Kamis (24/3/2022).
Baca Juga:Kepala BIN Budi Gunawan: Sejatinya Indonesia Mumpuni Mewujudkan IKN sebagai Kota Hutan Pintar
Baginya, ide dana urunan adalah ide buruk serta menunjukan keputusasaan. Karena investor asing mulai mundur dari pembangunan IKN. Beberapa negara seperti UEA memang sudah tunjukan komitmen untuk menggelontorkan dana 20 Miliar USD. Namun, Arab Saudi belum berikan keputusan angka komitmennya.
Bahkan ada kemungkinan, Arab Saudi ogah gelontorkan dana karena dibutuhkan untuk proyek dalam negerinya seperti proyek pariwisata baru, Jeddah Center, yang bernilai 20 Miliar USD.
Ia menyebut, usai SoftBank Group mundur sebagai investor, kelayakan pembangunan IKN menurun drastis. Proyek ini dianggap olehnya sudah kehilangan sumber dana terbesar dan belum mendapat pengganti investor dengan jumlah yang sama dengan SoftBank. Walhasil, mega proyek IKN Nusantara belakangan gencar di glorifikasi menjadi tak jelas kelanjutannya.
"Pasca hengkangnya Investor besar proyek IKN yaitu SoftBank, kelayakan pembangunan IKN menjadi menyusut 80% dan tidak sesuai dengan desain awal. Bagaimana tidak dana 100 miliar USD atau setara Rp 1.430 Triliun tiba-tiba tidak tersedia sementara yang tersedia hanya komitmen UEA yaitu sekitar 20% dari 100 miliar USD, Itu pun dinilai belum kongkret karena dananya belum masuk ke otorita IKN alias baru komitmen lisan," ujar pakar kebijakan publik itu.
Menurutnya, pembangunan IKN tak bisa mengharapkan investasi yang bersifat FDI seperti Softbank atau UEA. Memang pemerintah tengah mencoba cara lain seperti yang disinggung di atas. Yaitu, dana urunan yang disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, melalui INA (Indonesia Investment Authority). Tetapi menurutnya, itu akan sulit diwujudkan, mengingat besarnya dana yang dibutuhkan.
Baca Juga:Tak Mau Kalah Dari IKN Soal Infrastruktur, Pemkab PPU Minta Bantuan ke Pemerintah Pusat
"Ide dana urunan itu membutuhkan dana besar yang akan sulit untuk dicapai. Seperti pengalaman sebelumnya masyarakat berupaya urunan untuk membeli kapal selam, tapi gagal diwujudkan. Apalagi ditengah situasi kenaikan berbagai kebutuhan pokok masyarakat tentunya secara langsung akan mempersempit peluang terlaksananya ide crowdfunding tersebut," tandasnya.
Kepala Otorita Minta Publik Tenang
Sebelumnya, Bambang Susantono selaku Kepala Otorita IKN, meminta masyarakat tenang usai mundurnya SoftBank sebagai investor. Bambang menyebut hal tersebut adalah wajar dalam sektor pembangunan.
"Mohon masyarkat tidak khawatir, karena ini proses. Ini biasa di dunia pembangunan," katanya di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (18/3/200), dikutip dari Suara.com.
Bambang sendiri masih merasa optimis para investor akan berbondong-bondong datang. Pasalnya, investor akan datang bukan hanya dari satu sektor.
"Saya masih tetap optimis investor akan datang. Ada yang besar, menengah, atau investor yang satu sektor, satu jenis tertentu misalnya pendidikan, komerisal," pungkasnya.