SuaraKaltim.id - Jarum jam menunjukkan pukul 07.30 Wita. Para pedagang oleh-oleh khas Bontang mulai bersiap menunggu pembeli. Berharap barang dagangan di lapak yang berada di Kelurahan Bontang Kuala sudah siap untuk dibeli para wisatawan.
Namun, kondisi yang memprihatinkan nampak di setiap lapak. Dari pantauan jaringan media ini, bangunan tua dengan material kayu jabuk sangat membuat tampilan toko kumuh.
Salah satu pedagang Yarmi (67) misalnya. Lapak dengan ukuran 4x2 meter yang disewanya itu tak layak disebut toko.
Langit-langit toko hanya ditambal menggunakan seng. Serta kayu untuk pijakan kaki juga sudah mulai rapuh. Tidak jarang ada saja pembeli yang kakinya sampai terperosok karena kayu di bawah patah.
Baca Juga:Suhu Panas Terjang Bekasi, Pedagang Es Batu Panen Cuan: Bisa Dapat Omset Jutaan per Bulan
Setiap bulannya dia harus membayar sewa toko itu dengan harga Rp 400 ribu. Berjualan oleh-oleh khas Bontang itu sudah dilakoni ibu 5 anak ini selama 23 tahun.
"Meski kondisi warung memprihatinkan saya tetap jualan. Miris memang lihatnya. Bahkan pengunjung saja sempat kakinya terperosok karena kayu patah," kata Yarmi melansir dari KlikKaltim.com--Jaringan Suara.com, Kamis (19/10/2023).
Yarmi merupakan penjual aneka oleh-oleh khas Bontang. Khususnya dibidang kuliner. Seperti ikan asin bawis, ikan ketambak, udang kecil (pepik), terasi, rumput laut dan macam lainnya.
Barang dagangannya itu dijual dengan harga yang bervariasi. Mulai dari Rp 10 ribu - Rp100 ribuan. Sambil menyusun dagangannya, Yarmi selalu was-was bangunan ambruk. Selama 23 tahun mengontrak toko ini sudah 3 kali merenovasi.
Renovasi yang paling penting ialah meninggikan bangunan. Pasalnya saat menjelang akhir tahun banjir selalu merendam wilayah tempat jualannya.
Kocek yang sudah dikeluarkan untuk merenocasi berkisar Rp 7-10 juta. Biaya itu bukan jadi tanggungan pemilik bangunan melainkan penyewa.
"Saya sehari itu hanya dapat tidak menentu. Kalau pas hari libur bisa sampai Rp 200-500 ribu. Tapi kalau hari biasa yah paling tidak Rp 100 ribu udah lumayan sekali," sambungnya.
Dirinya berharap agar Pemkot Bontang bisa memfasilitasi bangunan lapak yang layak huni dan berjualan. Bagaimanapun dengan menjual pusat oleh-oleh Kota Bontang menjadi tumpuan utama untuk mencari rezeki hidup.
"Kalau misalnya dikasih ruko gratis saya senang sekali. Apalagi yang kami jual ini kan khas Bontang. Dari dulu tidak ada perkembangan begini-begini saja ruko saya," tuturnya.
Kondisi yang sama juga dirasakan pedagang oleh-oleh khas Bontang lainnya bernama Sumiati. Perempuan berumur 54 tahun itu harus ekstra hati-hati berjualan saat kondisi ruko terendam setiap kali banjir rob.
Lapak yang disewa dengan harga Rp 800 ribu per bulan ini hanya memiliki plafon dari terpal. Itu pun saat hujan tidak jarang meneteskan air karena bocor.
Harapan yang sama juga muncul dari pedagang yang sudah berjualan selama 18 tahun ini. Dimana Pemkot Bontang harusnya lebih perhatian untuk bisa memberikan sarana dan prasarana pedagang untuk berjualan.
Usaha Sumiati juga tidak jauh berbeda dengan pedagang lainnya. Dimana yang dijual pedagang lainnya. Misalnya seperti jajanan ikan kering, terasi, pepik, rumput laut, ikan tenggiri asin, dan yang lainnya.
Harga jual juga bervariasi mulai dari Rp 15-150 ribuan. Disinggung soal pendapatan Sumiati mengaku tidak menentu. Dirinya bilang cukup untuk lebituhan sehari-hari dan membayar sewa lapaknya.
"Kita sudah lama berjualan disini. Tapi kok yah lapak kami dibiarkan menyewa dan tidak sapat fasilitas. Padahal Bontang Kuala ini destinasi wisata," terang Sumiati.
Lapaknya pun juga sedikit tertutupi dengan tulisan I Love Bontang Kuala. Kadang juga para pendatang melewati lapaknya dan memilih langsung masuk kedalam kampung diatas air.
Pedagang disini juga masuk dalam anggota Kelompok Mitra Bahari. Kata dia pedagang disini juga masuk dalan kelompok bernama Mitra Bahari. Didalamnya beranggotakan 10 pedagang.
"Ini saja lapak kami tertutupan tulisan didepan. Jadi sudah sepantasnya kita bisa dipindah ke tempat yang layak," pungkasnya.