Kaltim Bidik Turunkan Stunting Jadi 14 Persen di 2025, Ini Strateginya

Pemprov tak bekerja sendiri. Peran daerah, khususnya kader posyandu, kini semakin vital.

Denada S Putri
Senin, 16 Juni 2025 | 11:11 WIB
Kaltim Bidik Turunkan Stunting Jadi 14 Persen di 2025, Ini Strateginya
Ilustrasi stunting. [Ist]

SuaraKaltim.id - Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) tengah menggalang kekuatan dari berbagai lini untuk mencapai target ambisius: menurunkan angka stunting dari 22,02 persen pada 2024 menjadi hanya 14 persen di akhir 2025.

Strategi ini bukan semata soal gizi, tapi tentang kerja bersama yang terkoordinasi dari pusat hingga desa.

Hal itu disampaikan Staf Ahli Gubernur Kaltim Bidang SDA, Perekonomian Daerah dan Kesejahteraan Rakyat, Arief Mardiyatno di Samarinda, Minggu, 15 Juni 2025 kemarin.

"Sedangkan Pemprov Kaltim melalui berbagai organisasi perangkat daerah -OPD- yang dimotori oleh dinas kesehatan, ditambah dukungan dari BKKBN terus melakukan intervensi stunting," ujar Arief, disadur dari ANTARA, Senin, 16 Juni 2025.

Baca Juga:Kaltim Peringkat Kedua Digitalisasi Transaksi Pemerintah, Ini Arahan Wagub Seno

Pemprov tak bekerja sendiri. Peran daerah, khususnya kader posyandu, kini semakin vital.

Melalui pendekatan konvergensi, Pemprov menggandeng kabupaten/kota memperkuat fungsi posyandu sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan keluarga di tingkat lokal.

Sejumlah langkah konkret telah dilakukan, mulai dari pemberian vitamin dan makanan tambahan, hingga kunjungan langsung ke rumah-rumah balita yang tak sempat datang ke posyandu.

Di saat yang sama, edukasi terus digencarkan untuk mengubah perilaku keluarga, terutama dalam hal pola makan dan pola asuh.

Upaya ini juga diperkuat dengan peluncuran Program Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (Genting).

Baca Juga:EBIFF 2025, Strategi Kaltim Dorong Ekonomi Kreatif dan Produk Lokal Go Global

Program ini membuka ruang bagi individu atau kelompok untuk menjadi “ayah/ibu angkat” bagi keluarga yang anaknya berisiko stunting.

Tanggung jawab orang tua asuh tersebut dibagi menjadi dua: aspek nutrisi dan non-nutrisi.

Untuk aspek non-nutrisi, dukungan diberikan dalam bentuk penyediaan air bersih, sanitasi, pelatihan ekonomi keluarga, serta edukasi pola asuh.

Sedangkan untuk dukungan nutrisi, program ini memastikan balita yang terindikasi stunting mendapatkan asupan gizi yang cukup—bahkan menjangkau keluarga yang berisiko melahirkan anak stunting.

Bagi Arief Mardiyatno, stunting bukan sekadar isu gizi.

“Stunting bukan cuman permasalahan gizi, namun banyak faktor lain yang mempengaruhi, seperti masalah air bersih, sanitasi, faktor ekonomi, hingga pola asuh. Semua ini perlu pendekatan berbeda, sehingga harus melibatkan banyak pihak sesuai dengan kewenangan dan keahlian masing-masing,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini