SuaraKaltim.id - Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) tengah menggalang kekuatan dari berbagai lini untuk mencapai target ambisius: menurunkan angka stunting dari 22,02 persen pada 2024 menjadi hanya 14 persen di akhir 2025.
Strategi ini bukan semata soal gizi, tapi tentang kerja bersama yang terkoordinasi dari pusat hingga desa.
Hal itu disampaikan Staf Ahli Gubernur Kaltim Bidang SDA, Perekonomian Daerah dan Kesejahteraan Rakyat, Arief Mardiyatno di Samarinda, Minggu, 15 Juni 2025 kemarin.
"Sedangkan Pemprov Kaltim melalui berbagai organisasi perangkat daerah -OPD- yang dimotori oleh dinas kesehatan, ditambah dukungan dari BKKBN terus melakukan intervensi stunting," ujar Arief, disadur dari ANTARA, Senin, 16 Juni 2025.
Baca Juga:Kaltim Peringkat Kedua Digitalisasi Transaksi Pemerintah, Ini Arahan Wagub Seno
Pemprov tak bekerja sendiri. Peran daerah, khususnya kader posyandu, kini semakin vital.
Melalui pendekatan konvergensi, Pemprov menggandeng kabupaten/kota memperkuat fungsi posyandu sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan keluarga di tingkat lokal.
Sejumlah langkah konkret telah dilakukan, mulai dari pemberian vitamin dan makanan tambahan, hingga kunjungan langsung ke rumah-rumah balita yang tak sempat datang ke posyandu.
Di saat yang sama, edukasi terus digencarkan untuk mengubah perilaku keluarga, terutama dalam hal pola makan dan pola asuh.
Upaya ini juga diperkuat dengan peluncuran Program Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (Genting).
Baca Juga:EBIFF 2025, Strategi Kaltim Dorong Ekonomi Kreatif dan Produk Lokal Go Global
Program ini membuka ruang bagi individu atau kelompok untuk menjadi “ayah/ibu angkat” bagi keluarga yang anaknya berisiko stunting.
Tanggung jawab orang tua asuh tersebut dibagi menjadi dua: aspek nutrisi dan non-nutrisi.
Untuk aspek non-nutrisi, dukungan diberikan dalam bentuk penyediaan air bersih, sanitasi, pelatihan ekonomi keluarga, serta edukasi pola asuh.
Sedangkan untuk dukungan nutrisi, program ini memastikan balita yang terindikasi stunting mendapatkan asupan gizi yang cukup—bahkan menjangkau keluarga yang berisiko melahirkan anak stunting.
Bagi Arief Mardiyatno, stunting bukan sekadar isu gizi.
“Stunting bukan cuman permasalahan gizi, namun banyak faktor lain yang mempengaruhi, seperti masalah air bersih, sanitasi, faktor ekonomi, hingga pola asuh. Semua ini perlu pendekatan berbeda, sehingga harus melibatkan banyak pihak sesuai dengan kewenangan dan keahlian masing-masing,” jelasnya.
Langkah terintegrasi inilah yang membuat Pemprov Kaltim percaya diri menargetkan penurunan signifikan dalam satu tahun.
Kerja lintas sektor jadi kunci, bukan hanya sekadar jargon, tapi solusi nyata menyelamatkan generasi masa depan.
Di Kaltim Baru 8 dari 10 Daerah, Kawasan Tanpa Rokok Wajib Diatur Lewat Perda
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) terus mendorong penguatan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebagai bagian dari upaya melindungi masyarakat dari paparan asap rokok.
Salah satu langkah strategis yang diambil adalah mendorong pemerintah kabupaten dan kota di Kaltim agar segera memiliki regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) terkait KTR, sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Hal itu disampaikan Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Kaltim Sri Wahyuni dalam Rapat Koordinasi Nasional di Jakarta, Kamis, 12 Juni 2025, yang membahas posisi dan kewenangan pemerintah daerah dalam kebijakan KTR pasca-ditetapkannya PP 28/2024.
“Kita harapkan kabupaten dan kota yang belum memiliki Perda KTR untuk segera menyusunnya,” ujar Sri, disadur dari ANTARA, Minggu, 15 Juni 2025.
Menurut Sri Wahyuni, dari total 10 kabupaten/kota di Kaltim, baru delapan daerah yang telah memiliki Perda KTR.
Dua lainnya masih mengandalkan regulasi dalam bentuk peraturan kepala daerah.
Namun, regulasi tersebut dinilai belum sesuai dengan standar terbaru yang ditetapkan pemerintah pusat.
“Karena sesuai dengan ketentuan PP 28/2024, regulasi terkait KTR harus berbentuk peraturan daerah,” tegasnya.
Tak hanya kepada pemerintah daerah, Sri Wahyuni juga mengimbau partisipasi masyarakat dalam mendukung penerapan aturan tersebut, terutama di area publik yang menjadi lokasi utama penerapan KTR.
Ia menekankan bahwa kebijakan ini tidak melarang orang untuk merokok, tetapi bertujuan melindungi masyarakat secara luas.
“Merokok masih diperbolehkan, namun hanya di tempat-tempat khusus yang telah disediakan dan harus di area terbuka,” imbuhnya.
Kawasan Tanpa Rokok sendiri, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 442 PP Nomor 28 Tahun 2024, mencakup area yang dilarang untuk merokok, menjual, memproduksi, mengiklankan, maupun mempromosikan produk tembakau dan rokok elektronik, baik di dalam maupun di luar ruangan.
Provinsi Kaltim telah lebih dulu memiliki Perda Nomor 5 Tahun 2017 yang mengatur KTR di tingkat provinsi.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga menegaskan bahwa penerapan KTR tidak bertujuan mematikan industri tembakau.
Namun negara, menurutnya, tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga keselamatan warganya.
“Rokok jadi salah satu penyebab utama kematian karena jantung dan stroke,” ucap Tito.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan keprihatinannya terhadap tingginya angka perokok di Indonesia, termasuk di kalangan usia muda.
Berdasarkan data, 73 persen laki-laki dewasa dan 7,4 persen remaja usia 10–18 tahun di Indonesia merupakan perokok aktif. Bahkan, penggunaan rokok elektronik pada anak-anak kini meningkat dua kali lipat.
“Kalau ingin hidup lebih sehat dan panjang umur, kita harus kurangi faktor risikonya, termasuk rokok,” kata Budi.
Dalam Rakornas itu, turut hadir Kepala Dinas Kesehatan Kaltim dr Jaya Mualimin dan Kepala Biro Hukum Setdaprov Kaltim Suparmi.
Pemprov Kaltim menyatakan komitmennya untuk memperkuat pelaksanaan KTR di seluruh wilayah sebagai tindak lanjut dari PP 28/2024.