SuaraKaltim.id - Upaya melindungi anak di Kalimantan Timur (Kaltim) masih menghadapi tantangan berat.
Meski berbagai kebijakan telah digulirkan, angka kekerasan terhadap anak tetap mendominasi laporan kasus di daerah tersebut.
Hingga pertengahan 2025, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kaltim mencatat ada 662 kasus kekerasan, di mana 454 di antaranya menimpa anak atau sekitar 62,97 persen.
Kepala DP3A Kaltim, Noryani Sorayalita, menyebut tren kasus ini patut diwaspadai.
Baca Juga:Digitalisasi Layanan Publik: Sakti Gemas Hadir di Kalimantan Timur
“Dengan jumlah 662 kasus hingga pertengahan tahun, kami khawatir angkanya akan terus meningkat. Harapannya, masyarakat semakin peduli agar kasus kekerasan bisa ditekan,” ujarnya saat menghadiri Seminar dan Parenting Disiplin Positif di Era Digital di Hotel Puri Senyiur, disadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Selasa (19/8/2025).
Menurutnya, meski sempat ada penurunan kasus pada 2024—turun 167 laporan dari 1.108 kasus sebelumnya—potensi peningkatan tetap menghantui.
Kekerasan seksual menjadi kasus yang paling banyak ditemui, disusul kekerasan fisik dan psikis.
Soraya menilai faktor lingkungan dan media sosial berperan besar.
Banyak anak yang meniru perilaku negatif di dunia maya tanpa pengawasan orang tua. Karena itu, keluarga harus ditempatkan sebagai garda terdepan perlindungan anak.
Baca Juga:Ekonomi Kaltim Tumbuh 4,69 Persen, Industri Pengolahan Jadi Penopang
Pemerintah Provinsi Kaltim pun telah mengeluarkan kebijakan, salah satunya Surat Edaran Gubernur Nomor 463/3397/III/DKP3A/2019 yang mengatur pembatasan penggunaan gawai di rumah maupun sekolah.
Selain regulasi, layanan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) juga disiapkan untuk memberi konseling dan pembekalan pengasuhan berbasis disiplin positif.
“Kami ingin keluarga di Kaltim semakin tangguh, berdaya, dan mampu melahirkan generasi yang sehat, cerdas, serta berkarakter,” pungkas Soraya.