-
Pemerintah kembali menerapkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada 2025 sebagai bagian dari pembaruan evaluasi belajar, sekaligus memperkuat standar penilaian pendidikan di sekolah.
-
Percepatan penyelesaian PPG menjadi fokus utama, dengan dukungan penuh pembiayaan dari negara untuk meningkatkan kompetensi guru, termasuk target sertifikasi 1 juta guru pada 2025.
-
PPG diposisikan sebagai syarat profesional utama guru, diperkuat model baru yang lebih fleksibel, dengan capaian besar seperti lebih dari 700 ribu guru mengikuti PPG dan Kaltim mencatat peserta terbanyak sepanjang sejarah.
SuaraKaltim.id - Pemerintah mulai menata ulang arah kebijakan pendidikan nasional dengan memperkenalkan kembali Tes Kemampuan Akademik (TKA) pada 2025 dan mempercepat penyelesaian Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Dua agenda ini diposisikan sebagai kerangka baru untuk memastikan proses evaluasi belajar berjalan objektif, sekaligus menjamin kualitas guru yang menjadi pilar utama pembelajaran.
Pendekatan tersebut dipaparkan dalam workshop pendidikan yang dihadiri anggota Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, bersama para pendidik dari Kaltim, serta Direktur PPG Ditjen GTK, Ferry Maulana Putra di Samarinda, 20 November 2025.
Keduanya menekankan bahwa penguatan standar pendidikan harus dimulai dari instrumen evaluasi yang tepat dan guru yang kompeten.
Baca Juga:Dugaan Kriminalisasi Aktivis Lingkungan di Kaltim: MT Ditahan 100 Hari Tanpa Bukti Baru
Hetifah menjelaskan bahwa TKA akan kembali berlaku mulai 2025 dan sekolah-sekolah mulai menaruh perhatian lebih pada mekanisme ini.
Dia menyebut kebingungan yang muncul di lapangan merupakan hal wajar karena TKA merupakan bagian dari pembaruan sistem asesmen nasional.
“Banyak kepala sekolah yang ingin mendengarkan apa sebetulnya TKA itu dan apa bedanya dengan tes-tes sebelumnya seperti ujian nasional atau asesmen nasional,” kata Hetifah.
Ia menilai penguatan evaluasi belajar tidak akan efektif tanpa peningkatan kualitas pendidik.
Karena itu pemerintah memberikan akses luas bagi guru untuk menyelesaikan studi lanjutan dan mengikuti PPG dengan biaya negara.
Baca Juga:Kutim Terjebak Warisan Lubang Tambang? Bupati ke KPC: Harusnya Jadi Sumber Penghidupan
“Bayangkan, guru-guru diberikan kesempatan untuk menuntaskan pendidikannya dan itu dibiayai oleh negara. Kalau profesi lain seperti dokter atau insinyur, pendidikan profesinya bayar sendiri,” ujarnya.
Hetifah menilai kebijakan tersebut merupakan bentuk keberpihakan negara terhadap profesi guru dan menjadi dasar untuk meningkatkan standar mutu pembelajaran.
Dia juga menyinggung bahwa sebagian guru belum memanfaatkan fasilitas PPG meski peluangnya besar, padahal tuntutan pembelajaran semakin kompleks dan kelulusan PPG berdampak langsung pada kesejahteraan.
“Kompetensi guru itu tetap harus diasah. Ada banyak hal baru, tuntutan anak-anak juga berubah. Begitu lulus PPG, otomatis kesejahteraannya meningkat. Hebat sekali guru itu,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa arah reformasi pendidikan tidak bisa berhenti pada penggantian tes atau revisi kurikulum semata.
“Guru adalah kunci. Tanpa peningkatan kompetensi mereka, tidak mungkin mutu pendidikan bisa naik,” tegasnya.
Senada dengan Hetifah, Direktur PPG Ditjen GTK, Ferry Maulana Putra menilai kehadiran TKA menjadi indikator bahwa pembaruan sistem evaluasi menjadi prioritas nasional.
Namun ia menegaskan fokus utamanya adalah percepatan penyelesaian PPG.
Ferry mengatakan bahwa pada pertengahan 2024 terdapat sekitar 1,6 juta guru belum bersertifikat, tetapi kebijakan akselerasi membuat 600 ribu guru berhasil mengikuti PPG hingga akhir 2024.
“Ini luar biasa. Biasanya PPG hanya bisa menampung 80 ribu sampai 100 ribu peserta per tahun karena harus dilakukan luring di kampus. Guru harus meninggalkan sekolah, keluarga, murid, dan itu memakan biaya besar,” ujar Ferry.
Menurutnya, keterbatasan LPTK membuat PPG tidak bisa diperluas cepat.
Karena itu pemerintah dan DPR merancang model PPG baru yang lebih efisien, fleksibel, dan adaptif terhadap kebutuhan daerah.
Pada 2025 pemerintah mendapat mandat menyelesaikan sertifikasi 1 juta guru.
Dari jumlah tersebut, 200 ribu guru belum memiliki ijazah S1 dan harus melanjutkan studi, sementara 800 ribu menjadi target PPG.
Hingga menjelang akhir tahun, lebih dari 700 ribu guru sudah menjalani PPG dan sekitar 100 ribu masih belum mendaftar.
“Sekarang gantian kami yang mencari guru-gurunya untuk ikut PPG,” ujarnya.
Ia menjelaskan pemerintah bersama daerah dan LPTK membantu perbaikan data guru agar proses pendaftaran lebih cepat, termasuk verifikasi ijazah serta perbaikan elemen identitas.
“Kalau ijazah belum sesuai atau data keliru, bisa diperbaiki. Dalam dua kali 24 jam sudah berubah,” katanya.
Ferry menyebut PPG bukan sekadar kelengkapan administratif, melainkan inti pembentukan profesionalisme guru.
Dengan porsi praktik 70 persen, PPG akan ditetapkan sebagai syarat wajib sebelum sarjana pendidikan menjadi guru.
“Ini sama seperti dokter. Seorang sarjana kedokteran tidak bisa langsung menyuntik pasien. Mereka harus ikut pendidikan profesi dokter. Guru juga begitu,” ungkapnya.
Ia juga mendorong agar kebutuhan guru di daerah dipenuhi oleh lulusan lokal.
“Kebutuhan guru di Kalimantan Timur seharusnya bisa dipenuhi oleh anak-anak Kaltim sendiri. Tidak perlu impor dari Jawa,” harapnya.
Tahun ini, Kaltim mencatat jumlah peserta PPG terbesar sepanjang sejarah, yakni sekitar 12.700 peserta.
Ferry menilai capaian itu menjadi aset bagi percepatan peningkatan kualitas pendidik di wilayah tersebut.
Melalui kombinasi TKA dan percepatan PPG, pemerintah mencoba menegakkan standar baru dalam sistem pendidikan nasional—di mana evaluasi akademik yang terukur berjalan seiring dengan peningkatan kemampuan guru.
Meski masih ada tantangan seperti pendataan dan pemerataan akses, langkah ini dinilai memperjelas arah perbaikan pendidikan ke depan.
Ferry menegaskan bahwa manfaat PPG juga langsung dirasakan guru.
“Setelah lulus, kesejahteraan mereka meningkat. Ini insentif penting agar guru terus meningkatkan kompetensinya,” tutupnya.
Kontributor: Giovanni Gilbert