Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Kamis, 22 Mei 2025 | 13:08 WIB
Ilustrasi sawit di perkebunan. [kaltimtoday.co]

SuaraKaltim.id - Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Kalimantan Timur (Kaltim) mengalami penurunan pada periode 1–15 Mei 2025 setelah sebelumnya sempat menunjukkan tren kenaikan dalam beberapa pekan terakhir.

Melansir dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, penurunan ini terjadi di seluruh kelompok umur tanaman sawit.

Untuk tanaman berusia 10 tahun ke atas, harga TBS turun menjadi Rp 3.272,74 per kilogram.

Hal ini disampaikan oleh Plt Kepala Dinas Perkebunan Kaltim, Andi Siddik, dalam keterangan resmi pada Rabu, 21 Mei 2025.

Baca Juga: Kabinet Besar hingga Sawit: Kritik Pemuda Kaltim pada 100 Hari Prabowo-Gibran

Menurut Andi, penyebab utama penurunan harga TBS kali ini adalah melemahnya harga crude palm oil (CPO) dan inti sawit (kernel) yang terjadi hampir di seluruh perusahaan sumber data.

Kondisi ini tentu berdampak langsung terhadap harga jual TBS di tingkat petani sawit di wilayah Kaltim.

Untuk periode ini, harga CPO rerata tertimbang tercatat sebesar Rp 13.792,56 per kg, sedangkan harga kernel rata-rata berada di angka Rp 12.529,67 per kg. Indeks K yang digunakan dalam perhitungan berada di posisi 89,82 persen.

Andi juga merinci harga TBS berdasarkan umur tanaman sawit untuk periode 1–15 Mei 2025. Berikut rinciannya:

  1. Usia 3 tahun: Rp 2.880,53 per kg
  2. Usia 4 tahun: Rp 3.069,61 per kg
  3. Usia 5 tahun: Rp 3.090,21 per kg
  4. Usia 6 tahun: Rp 3.123,99 per kg
  5. Usia 7 tahun: Rp 3.143,25 per kg
  6. Usia 8 tahun: Rp 3.166,56 per kg
  7. Usia 9 tahun: Rp 3.234,90 per kg

Harga TBS yang ditetapkan ini berlaku sebagai acuan bagi petani kelapa sawit yang telah menjalin kemitraan dengan perusahaan pengelola pabrik kelapa sawit, khususnya pada sistem kebun plasma.

Baca Juga: Industri Sawit Kaltim di Ujung 2024: Harga TBS Naik, Pekebun Sumringah

Kemitraan antara kelompok tani dan pihak pabrik minyak sawit (PMS) diharapkan mampu memberikan harga yang lebih adil dan mencegah permainan harga oleh tengkulak.

Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit di Kaltim melalui sistem yang lebih transparan dan terjamin.

Sawit Melesat, Hutan Menyusut: CSR di Kaltim Cuma Formalitas?

Deforestasi yang semakin meluas di Kalimantan Timur (Kaltim) tak hanya mengancam kelestarian lingkungan, tapi juga menyorot lemahnya kontribusi perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya.

Laporan terbaru dari Auriga Nusantara mencatat bahwa sepanjang tahun 2024, provinsi ini menjadi wilayah dengan kehilangan hutan paling parah di Indonesia, dengan luasan mencapai 44.483 hektare.

Salah satu daerah penyumbang terbesar adalah Kabupaten Berau, yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, telah memiliki area perkebunan sawit seluas 21.860,91 hektare.

Besarnya ekspansi lahan sawit ini diyakini ikut mempercepat laju konversi hutan di Kaltim.

Deforestasi, yang umumnya dipicu pembukaan lahan untuk kepentingan industri dan infrastruktur, membawa dampak luas: dari kerusakan ekosistem dan hilangnya keanekaragaman hayati, hingga meningkatnya risiko bencana alam serta tekanan sosial terhadap masyarakat sekitar.

Namun, yang jadi perhatian penting adalah bagaimana sektor industri—terutama perkebunan—merespons kerusakan tersebut.

Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menilai bahwa kontribusi sektor swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) belum menunjukkan tanggung jawab yang sepadan.

"CSR jangan sampai dimanfaatkan oknum untuk mengais keuntungan tertentu untuk mengambil uang perusahaan tersebut, demi masuk kantong orang-orang tertentu, juga jangan jadi hanya sebatas alat peredam agar tidak ada gejolak di masyarakat atas hal-hal yg abai dari pihak perusahan," tegas Purwadi, disadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Selasa 13 Mei 2025.

Ia juga menyoroti ketidakjelasan realisasi program plasma kebun sawit yang seharusnya memberikan 20 persen manfaat langsung kepada masyarakat lokal.

"Terutama dari sektor perkebunan sawit, program kewajiban 20 persen plasma untuk rakyat juga patut dipertanyakan apakah sudah berjalan dengan baik di lapangan?" katanya.

Purwadi mengungkapkan bahwa di banyak kasus, CSR justru dijadikan alat untuk melancarkan izin operasional perusahaan, bukan untuk menanggulangi dampak dari kegiatan bisnis mereka.

Ia menyebutkan, ketidakterbukaan informasi menjadi sumber utama ketidakpercayaan publik.

"Operasi dulu baru izin, kebanyakan seperti itu jadi siapa yang tidak paham aturan disini?, yang memberi atau yang minta izin?, atau dua-duanya 'kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu?'” sindirnya.

Menurutnya, perlu ada transparansi dan keterlibatan lebih besar dari masyarakat, pemerintah, hingga DPRD dalam pengawasan distribusi CSR.

Ia juga mempertanyakan fungsi Forum CSR di daerah yang seharusnya menjadi saluran keterbukaan.

"Perusahaan kadang hanya melihat terhadap dalih ring 1, 2 dan sebagainya, akhirnya penyerapannya hanya di wilayah-wilayah tertentu dan tidak merata. Harusnya ada evaluasi terhadap penyaluran CSR selama ini, jadi perlu ada aksi nyata pasca bencana yang melanda wilayah Kaltim belakangan ini," tandasnya.

Di tengah darurat lingkungan akibat deforestasi, suara publik terhadap tanggung jawab sektor swasta semakin keras.

Bukan hanya soal pemulihan ekologis, namun juga soal keadilan sosial dan keberlanjutan hidup masyarakat di sekitar wilayah terdampak.

Load More