Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Selasa, 03 Juni 2025 | 13:35 WIB
Ilustrasi 'Gratispol untuk Guru di Kaltim, Pengamat: Jangan Asal Sekolah S2'. [Chat GPT]

SuaraKaltim.id - Pengamat pendidikan dari Universitas Mulawarman (Unmul), Susilo, memberikan tanggapannya terkait wacana perluasan cakupan program pendidikan Gratispol agar tidak hanya dinikmati oleh siswa dan mahasiswa, melainkan juga oleh para pengajar.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) kini mulai membuka akses program Gratispol untuk kalangan guru, sebagai bagian dari strategi meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di semua tingkatan pendidikan.

Langkah ini dinilai penting karena peningkatan kualitas guru merupakan investasi jangka panjang yang akan berdampak langsung terhadap mutu lulusan pelajar di Kaltim.

Susilo menilai, potensi program ini cukup besar dalam meningkatkan kompetensi tenaga pendidik, namun pelaksanaannya harus dilakukan secara terencana.

Baca Juga: Prostitusi di Sekitar IKN Menurun, Polda Kaltim Tetap Lakukan Pengawasan Ketat

Ia menekankan pentingnya kesesuaian antara bidang studi S2 dengan mata pelajaran yang diajarkan oleh guru.

“Semua peningkatan SDM melalui S2 itu baik. Paling tidak satu rumpun ilmu. Sehingga kedepannya, kualitas guru akan lebih baik,” ucap Susilo saat dihubungi pada Senin, 2 Juni 2025, malam.

Namun demikian, ia mengingatkan adanya risiko jika guru yang telah dibiayai negara justru berpindah profesi atau lokasi kerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan awal.

“Jadi harus ada semacam komitmen dari yang membiayai bahwa setelah disekolahkan ya dia (guru) tetap di wilayah itu. Jangan sampai pindah sekolah,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Susilo menyarankan agar Pemprov Kaltim melakukan pemetaan wilayah yang benar-benar membutuhkan guru bergelar S2, serta memastikan distribusi kompetensi guru merata di seluruh daerah.

Baca Juga: Samarinda Targetkan Juli 2025 Jalankan Sekolah Rakyat, Lokasi Masih Dicari

“Paling enggak, pemprov melakukan kerja sama dengan BKD atau dinas di bawahnya. Ketika suatu daerah kekurangan guru, ya jangan S2. Ngapain juga gitu loh maksudnya. Apalagi jika mereka bondong - bondong untuk sekolah S2, akan jadi masalah bagi sekolahnya,” katanya.

Ia juga menekankan pentingnya seleksi calon penerima program agar lebih tepat sasaran, terutama kepada guru-guru yang statusnya sudah jelas sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Ketika program itu digulirkan nanti, misalnya khusus guru yang sudah diidentifikasi menjadi guru PNS. Jangan guru-guru muda, karena yang muda belum jelas jadi guru, di disekolahkan, nanti pasti tidak mau jadi guru kalau sudah S2,” tegasnya.

Walaupun peningkatan jenjang pendidikan guru dapat membawa dampak positif terhadap mutu pengajaran, Susilo menilai hal itu bukan satu-satunya indikator kemajuan pendidikan, terlebih bagi daerah-daerah terpencil yang menjadi sasaran program ini.

“Jadi tidak boleh dikatakan bahwa guru ini ketika disekolahkan akan lebih baik dari yang tidak sekolah. Karena, kalau pemprov pandangannya seperti itu, berarti tidak mengakui universitas yang ada di Indonesia kan,” ujarnya.

Ia turut menggarisbawahi tantangan pelaksanaan program ini, terutama dari sisi efektivitas pembelajaran jika guru harus menjalani pendidikan S2 sambil tetap mengajar di sekolah.

“Kalau guru sekolah sambil ngajar ya nanti ilmunya tidak masuk, nanti lama lulusnya dan seterusnya. Jadi ketika nanti guru itu disekolahkan, dia harus tugas belajar. Tugas belajar itu tidak boleh ngajar dan harus full belajar.”

“Jadi konteks ini bukan masalah efisien atau tidak, efektif atau tidak, bukan masalah itu. Proses S2 tadilah yang harus benar, bukan seleksi lagi tapi yang dibiayai ini harus tahu persis bahwa mereka memang belajar kan gitu,” jelasnya.

Lebih jauh, Susilo menyarankan agar Gratispol diarahkan secara strategis, termasuk dengan memberi prioritas kepada anak-anak muda Kaltim yang belum bekerja namun ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang magister.

“Kalau S2 mereka belum kerja, itu tidak ada masalah, dibiayai saja sudah beres. Tapi orang yang sedang menjabat atau sedang bekerja dibiayai atau kuliah, maka kuliahnya itu harus kuliah betul-betul full time kuliah,” tuturnya.

Menurutnya, hasil dari program ini baru bisa dirasakan dalam jangka menengah hingga panjang. Maka dari itu, regulasi serta sistem pengawasan yang ketat sangat diperlukan untuk menjamin efektivitas pelaksanaannya.

“Saya menggaris bawahi luar biasanya Gratispol itu semua dibiayai. Anak - anak muda ini yang nantinya akan mengisi SDM Kaltim. Yang belum bekerja mau S2 itu dibiayai aja. Enggak usah pakai seleksi pokoknya. Tapi, kalau konteks untuk guru jangan mengejar kuantitas yang nanti gelarnya banyak tapi hanya permainan gelar ya kita kualitasnya tidak bertambah lagi,” pungkasnya.

Kontributor: Giovanni Gilbert

Load More