SuaraKaltim.id - Meski diluncurkan dengan semangat menghapus hambatan biaya pendidikan, program GratisPol milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) mendapat kritik tajam dari kalangan akademisi.
Program ini dinilai belum mampu menjangkau kelompok paling rentan, bahkan berpotensi memperkuat ketimpangan yang sudah lama mengakar.
Dalam diskusi publik bertema “Arah Program GratisPol dan Masa Depan Pendidikan Kaltim” yang digelar di Teras Samarinda pada Senin, 30 Juni 2025, sosiolog Sri Murlianti menyampaikan bahwa kebijakan ini justru cenderung mengulang pendekatan lama yang elitis.
“Program ini tidak jauh berbeda dari beasiswa konvensional yang sudah ada sebelumnya. Semangat awalnya untuk menghapus hambatan biaya dan birokrasi bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, justru makin kabur,” ujar Murlianti, disadur dari Presisi.co--Jaringan Suara.com, Rabu, 2 Juli 2025.
Menurutnya, pola seleksi dan pelaksanaan program pendidikan di Kaltim selama ini terlalu fokus pada capaian akademik, tanpa melihat ketimpangan sosial dan geografis yang menghambat siswa dari wilayah pedalaman.
“Anak-anak desa bukan tidak mampu, mereka hanya tidak pernah diberi ruang untuk berkembang sejak pendidikan dasar. Mereka tertinggal bukan karena bodoh, tapi karena sistemnya timpang sejak awal,” katanya.
Murlianti mencontohkan kondisi nyata di Desa Enggelam, Kutai Kartanegara (Kukar), di mana akses ke sekolah dasar saja memerlukan perjalanan jauh.
Ketimpangan semakin terasa di jenjang SMP, karena fasilitas pendidikan umumnya hanya tersedia di ibu kota kecamatan, sementara beban biaya menjadi kendala besar bagi banyak keluarga.
“Kalau kita bicara generasi emas Kaltim, faktanya 80 persen anak-anak dari pedalaman bahkan tidak sampai ke SMA, apalagi perguruan tinggi. Yang dibantu selama ini hanya 20 persen yang berhasil keluar dari lingkaran ketimpangan itu,” tegasnya.
Baca Juga: Baru 110 dari 965 Naskah Kuno di Kaltim Terinventarisasi, DPK Minta Partisipasi Publik
Murlianti juga menyoroti pendekatan GratisPol yang masih terbatas hanya pada pembiayaan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Padahal, bagi mahasiswa dari desa, beban utama justru terletak pada kebutuhan hidup sehari-hari seperti tempat tinggal dan makan.
“UKT itu hanya seperlima dari total biaya pendidikan. Kalau hanya itu yang ditanggung, keberpihakan kita masih setengah hati. Lebih baik kos dan makan yang ditanggung, daripada hanya UKT,” ujarnya.
Ia mengingatkan, jika tak ada keberpihakan nyata melalui skema afirmatif, subsidi pendidikan justru akan dinikmati oleh mereka yang relatif sudah mampu secara sosial dan ekonomi.
“Yang sering terbantu justru anak-anak elite desa yang sudah punya akses. Padahal, yang paling membutuhkan justru tidak sanggup kuliah sejak awal,” katanya.
Sebagai solusi, Murlianti menekankan perlunya reformulasi arah kebijakan pendidikan di Kaltim, dengan menjadikan afirmasi sosial sebagai fondasi utama.
Berita Terkait
Terpopuler
- Penampakan Rumah Denada yang Mau Dijual, Lokasi Strategis tapi Kondisinya Jadi Perbincangan
- Belajar dari Tragedi Bulan Madu Berujung Maut, Kenali 6 Penyebab Water Heater Rusak dan Bocor
- Prabowo Disebut Ogah Pasang Badan untuk Jokowi Soal Ijazah Palsu, Benarkah?
- 3 Shio Paling Beruntung Pekan Ketiga 13-19 Oktober 2025
- 4 Mobil Listrik Termurah di Indonesia per Oktober 2025: Mulai Rp180 Jutaan
Pilihan
-
Warisan Utang Proyek Jokowi Bikin Menkeu Purbaya Pusing: Untungnya ke Mereka, Susahnya ke Kita!
-
Tokoh Nasional dan Kader Partai Lain Dikabarkan Gabung PSI, Jokowi: Melihat Masa Depan
-
Proyek Rp65 Triliun Aguan Mendadak Kehilangan Status Strategis, Saham PANI Anjlok 1.100 Poin
-
Pundit Belanda: Patrick Kluivert, Alex Pastoor Cs Gagal Total
-
Tekstil RI Suram, Pengusaha Minta Tolong ke Menkeu Purbaya
Terkini
-
CEK FAKTA: Bukan Teguran Megawati, Video Purbaya yang Viral Itu Hasil Editan
-
CEK FAKTA: Waspada! Akun pln-__id Gunakan Nama Presiden Prabowo untuk Menipu Pengguna
-
BK DPRD Kaltim Panggil Anggota Dewan AG, Diduga Langgar Etika di Media Sosial
-
PPU Pacu Akses Air Bersih di Sekitar IKN Lewat Skema Pamsimas Desa
-
Oknum Terduga Pelaku SPK Fiktif di Bontang Ternyata Sudah Dipecat Sejak Mei