SuaraKaltim.id - Penangkapan Dayang Donna Faroek dan pengusaha Rudy Ong Chandra dalam kasus korupsi izin usaha pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur (Kaltim) disebut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sebagai pintu masuk untuk mengungkap praktik mafia tambang yang telah lama bercokol.
Bagi Jatam, perkara ini bukan hanya soal kerugian negara, melainkan menyangkut kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap keselamatan manusia.
Hal itu disampaikan Jatam Kaltim dalam keterangan resminya, Kamis, 11 Septembr 2025, menyoroti konsesi 34 ribu hektare yang diselewengkan melalui tujuh IUP, di antaranya PT Cahaya Bara Kaltim dan PT Sepiak Jaya Kaltim.
“Luasan itu bukan angka kecil, setara lebih dari setengah luas Kota Balikpapan,” tulisnya, disadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Sabtu, 13 September 2025.
Jejak Lama Rente Tambang
Jatam menilai praktik ini tidak berdiri sendiri, melainkan berakar sejak awal 2000-an ketika otonomi daerah memberi keleluasaan kepala daerah menerbitkan izin tambang.
Dari catatan mereka, lebih dari 1.400 IUP keluar sejak 2003, banyak di antaranya sarat gratifikasi dan jual beli izin.
Nama Rudy Ong disebut mengantongi izin lewat lobi politik, aliran dana, hingga mekanisme ilegal lainnya.
“Pertanyaannya, apakah proses hukum Donna Faroek dan Rudy Ong benar-benar akan mengubah bobroknya tata kelola perizinan di Kaltim?” kritik Jatam.
Baca Juga: Chandra Setiawan Diperiksa KPK, Disebut Jadi Kurir Suap IUP Kaltim
Korban Manusia dan Alam
Bagi Jatam, kerugian yang paling nyata ada di lapangan: lubang tambang tanpa reklamasi telah merenggut nyawa 49 anak, sungai-sungai rusak oleh limbah, dan desa-desa kehilangan lahan pertanian.
“Luasan 34 ribu hektar itu berarti lebih setengah Balikpapan hilang dari peta ruang hidup rakyat, berganti lubang-lubang maut,” tegas mereka.
Tuntutan kepada Pemerintah
Untuk itu, Jatam mengajukan lima tuntutan, mulai dari penegakan hukum yang transparan, audit nasional terhadap izin bermasalah, penutupan lubang tambang, hingga penghitungan kerugian ekologis oleh KPK.
“Seharusnya kebijakan berangkat dari analisis ilmiah dan empirik. Permasalahan nyata adalah alokasi tambang yang melampaui daya dukung ekologi, minimnya akses informasi, kriminalisasi warga, dan pertambangan sebagai sumber pembiayaan politik,” jelas Jatam.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- Gary Neville Akui Salah: Taktik Ruben Amorim di Manchester United Kini Berbuah Manis
- 5 Mobil Bekas 30 Jutaan untuk Harian, Cocok buat Mahasiswa dan Keluarga Baru
- Belanja Mainan Hemat! Diskon 90% di Kidz Station Kraziest Sale, Bayar Pakai BRI Makin Untung
Pilihan
-
H-6 Kick Off: Ini Jadwal Lengkap Timnas Indonesia di Piala Dunia U-17 2025
-
Harga Emas Hari Ini Turun: Antam Belum Tersedia, Galeri 24 dan UBS Anjlok!
-
5 Fakta Wakil Ketua DPRD OKU Parwanto: Kader Gerindra, Tersangka KPK dan Punya Utang Rp1,5 Miliar
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
-
Dari AMSI Awards 2025: Suara.com Raih Kategori Inovasi Strategi Pertumbuhan Media Sosial
Terkini
-
KUR Serap 11 Juta Tenaga Kerja, UMKM Jadi Motor Perekonomian Nasional
-
Ekspor Sawit ke Eropa Masih Aman Asal Petani Ikut Patuhi EUDR
-
Medan Perang Generasi Z Bukan Lagi di Dunia Nyata, tapi di Dunia Digital
-
Mengulang Era Soeharto? DPR Wacanakan Bulog Langsung di Bawah Presiden
-
PKN Desak Prabowo Sahkan Perpres Ojol, Anas: Kami Bersama Rakyat Pekerja