Denada S Putri
Minggu, 14 September 2025 | 13:41 WIB
Menu MBG di SMAN 13 Samarinda, terdiri dari nasi putih, tahu goreng, ayam katsu, salad wortel dan kol, serta buah kelengkeng. [kaltimtoday.co]

SuaraKaltim.id - Sejumlah pelajar di SMA Negeri 13 Samarinda melaporkan pengalaman menerima menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tidak layak pada Agustus 2025 — lauk berbau tak sedap, beberapa sudah mendekati keadaan basi, bahkan ada temuan ulat pada sayur.

Temuan ini memicu kekhawatiran soal keamanan pangan dan tata kelola distribusi makanan untuk siswa.

Salah seorang siswa, yang meminta dirahasiakan identitasnya dan disebut sebagai M, menceritakan pengalamannya menemukan lauk ayam yang beraroma aneh.

“Waktu itu pas lauknya ayam, ada beberapa yang mau basi dan ada juga yang dapat sudah basi,” katanya disadur dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Minggu, 14 September 2025.

Teman sekelas lain, D, juga mengaku mendapat lauk ayam yang berbau tidak sedap sampai bikin mual sehingga memilih tidak mengonsumsinya demi menjaga kesehatan.

“Kalau sampai basi banget atau berulat, saya pribadi belum pernah dapat. Tapi teman-teman ada yang cerita,” ucapnya.

Lebih jauh, A (bukan nama sebenarnya) menyebut ada cerita teman yang diduga muntaber setelah memakan MBG; ada pula yang menemukan ulat dalam porsi sayur capcay.

Kekhawatiran murid meningkat ketika sekolah meminta agar masalah tersebut tidak dipublikasikan.

“Memang ada guru yang bilang jangan diumbar-umbar kalau ada makanan basi atau ada ulat,” ujar A.

Baca Juga: Balikpapan Matangkan Lokasi Dapur MBG di Tiga Kecamatan Prioritas

Kepala Sekolah SMA Negeri 13, Jarnuji Umar, membela program MBG sebagai intervensi penting untuk mencegah siswa pingsan karena tak sarapan.

“Sebelum ada program ini ada siswa atau siswi yang pingsan karena mungkin belum sarapan, jadi menurut kami program ini cukup baik,” sebutnya.

Mengenai keluhan soal menu yang diduga basi, Jarnuji mengakui ada persoalan dan mengaku pihak sekolah telah meneruskannya ke penyedia.

Namun ia mengklaim sebagian menu masih layak konsumsi. Sekolah juga meminta agar aduan disampaikan secara internal dan tidak disebar di media sosial: “Langsung kami sampaikan supaya bisa jadi bahan evaluasi dan tidak terulang kembali, yang penting itu kan disampaikan jangan berkoar-koar di medsos atau gimana,” katanya.

Penyedia MBG untuk beberapa sekolah, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Sungai Pinang, mengakui adanya kelalaian.

Ketua SPPG, Zidan, menyebut kejadian itu sebagai catatan dan mengaku sudah memberi teguran lisan kepada petugas yang bertanggung jawab.

“Iya benar tentunya itu menjadi catatan kami supaya ke depan tidak terulang,” akunya.

Di sisi lain, SPPG Loa Janan Ilir menjelaskan prosedur produksi yang diterapkan untuk beberapa wilayah.

Ahli Gizi SPPG Loa Janan Ilir, Tia Rahma, mengatakan pihaknya menekankan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dan kebersihan, khususnya saat mencuci bahan makanan.

Mobil SPPG Sungai Pinang saat mengambil kembali ompreng MBG di SMA Negeri 2 Samarinda. [kaltimtoday.co]

"Saya selalu mengingatkan seluruh tim agar menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dan menjaga kebersihan, terutama saat mencuci sayur dan lauk-pauk. Karena kami menyediakan makanan untuk anak sekolah, kebersihan menjadi hal yang sangat penting agar terhindar dari keracunan makanan," tegas Ahli Gizi SPPG Loa Janan Ilir, Tia Rahma.

Menurut keterangan tim produksi, proses dimulai dini hari: "Mulai pukul 1 dini hari, proses memasak lauk hewani, lauk nabati, dan sayur pun dimulai. Namun, untuk sayur dimasak secara terpisah, yaitu mulai sekitar pukul 3 subuh," ucapnya.

Setelah dimasak, makanan diporsikan dan biasanya siap pagi hari: "Setelah selesai, makanan kemudian diporsikan dan biasanya siap untuk disajikan sekitar pukul 4 subuh," jelasnya.

Mereka juga menyatakan ada pengecapan rasa oleh petugas: "Biasanya, saya mencicipi bersama dengan penanggung jawab dapur. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas rasa dan kebersihan makanan," bebernya.

Produksi harian yang disebut mencakup 12 sekolah menargetkan ribuan porsi: "Produksi makanan kami mencakup 12 sekolah dengan total penerima manfaat sekitar 3.513 siswa," tuturnya.

Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji, merespons laporan ini dengan janji tindak lanjut dan koordinasi ke Badan Gizi Nasional (BGN) serta SPPG.

"Terima kasih atas laporannya. Kami terus menekankan kepada semua dapur yang ada di Kalimantan Timur untuk memperhatikan aspek higienis dan masa kedaluwarsa bahan makanan," sebut Seno.

Meski belum menerima laporan resmi, Seno berjanji: "Memang saya belum mendapatkan laporan resmi terkait hal ini, tapi segera akan kami tindaklanjuti bersama tim SPPG," janjinya.

Ia juga menekankan pentingnya transparansi dan evaluasi, bahkan menyinggung kemungkinan kesalahan pengemasan: "Memang benar, seharusnya ini menjadi evaluasi. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Kemungkinan kondisi basi itu terjadi karena pengemasan di ombreng yang dilakukan ketika makanan masih panas, lalu langsung dikirim sehingga terjadi penurunan kualitas. Hal seperti ini harus segera dievaluasi agar tidak terulang," tegasnya.

Plt. Kepala Disdikbud Kaltim, Armin, menyoroti temuan ini sebagai atensi khusus meski Disdikbud bukan pengelola langsung MBG.

"Kami ingin anak anak kita mendapatkan makanan yang bagus dan baik, supaya mereka bisa semangat belajarnya," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa koordinasi dengan pihak terkait akan dilakukan: "Nanti kami koordinasikan ke pihak yang berkaitan. Karena sebetulnya Disdikbud tidak masuk dalam ranah MBG, kami hanya bisa koordinasi programnya, masalah makanan tidak masuk disitu," jelasnya.

Ahli gizi dari Universitas Mulawarman, Jamil Anshory, mengingatkan bahwa makanan basi bisa mengandung kontaminasi mikroba akibat sanitasi atau pengelolaan yang buruk.

“Bisa jadi karena kontaminasi mikroba. Itu sering terjadi akibat sanitasi yang kurang baik, peralatan yang tidak bersih, atau lingkungan dapur yang tidak higienis,” jelas Jamil.

Ia memperingatkan bahwa SOP yang tidak dijalankan berisiko menimbulkan masalah: “SOP-nya sudah bagus, tapi kalau tidak dijalankan, risiko kontaminasi tetap besar,” ujarnya.

Jamil juga merinci bahaya penyimpanan yang salah: “Kalau lebih dari itu, risiko basi makin tinggi. Apalagi jika disimpan dalam kondisi masih panas lalu ditutup rapat, karena akan menimbulkan embun dan mempercepat pembusukan,” kata dosen dari Prodi Kesehatan Masyarakat, Universitas Mulawarman ini.

Dari sisi kebijakan, Jamil mendesak agar kasus seperti ini tidak ditutup-tutupi: “Kalau ada kasus seperti ini, sebaiknya jangan ditutupi supaya bisa jadi bahan evaluasi. Karena ini menyangkut masa depan anak-anak," terangnya.

Ia juga merekomendasikan pengawasan berlapis: “Jangan hanya mengecek di akhir. Pengawasan harus dari awal sampai makanan diterima siswa, kalau bisa triple checking supaya kasus seperti ini tidak terulang,” tandasnya.

Load More