“Bagaimana bisa Otorita IKN kemudian memisahkan antara ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan yang masuk Kawasan IKN dan yang tidak? Pendekatan yang keliru, sementara dampak pembangunan IKN banyak berdampak ke hampir seluruh pesisir Teluk Balikpapan,” kritik Yolanda.
Kritik senada juga disampaikan Pjs Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kaltim Fathur Roziqin Fen. Dia menyampaikan, baik petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan kelayakan pemindahan dan pembangunan IKN.
Sebagai contoh dari proses penyusunan Undang-Undang IKN, sangat lemah dari proses partisipasi publik yang bermakna. Hal itu menurut Fathur, berdampak nyata dari ketimpangan penguasaan hutan dan lahan.
“Pemerintah justru menjadi pihak yang menghambat penyelesaian konflik tenurial hingga dampak buruk dari kerusakan lingkungan seperti banjir yang baru-baru ini terjadi,” ujarnya.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman juga menyampaikan, masyarakat adat Paser Balik telah menyatakan sikap secara terbuka menolak untuk direlokasi dari wilayah adatnya, baik di dalam pertemuan resmi dengan pemerintah maupun dengan melalui pemasangan spanduk.
Sejak awal pemindahan IKN hingga saat ini, ungkap Arman, masyarakat adat tidak pernah diberikan kesempatan untuk berpartisipasi penuh dan efektif untuk menentukan nasib dan masa depannya di dalam proses-proses perencanaan dan pembangunan IKN.
Arman menilai, secara substansi UU IKN beserta peraturan turunannya sama sekali tidak memberikan jaminan hukum perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
“Bagi masyarakat adat di lokasi IKN khususnya masyarakat adat Paser Balik, pembangunan IKN merupakan proyek pemusnahan keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya secara langsung,” tegas dia.
Direktur LBH Samarinda Fathul Huda Wiyashadi mengatakan, sejak membuat keputusan pemindahan IKN hingga proses pembangunannya berkelindan beragam pelanggaran HAM, baik hak sipol maupun ekosob.
Warga setempat, diungkapkan Fathul, tidak pernah diajak berdialog dan tidak pernah dilibatkan secara aktif dalam proses pembentukan kebijakan. Bahkan warga setempat kini terancam digusur dari tempat tinggal dan kampung halamannya hanya demi memuluskan megaproyek yang sama sekali tidak berdampak secara positif kepada warga.
Kebohongan demi kebohongan, sebut Fathul, terus dihadirkan demi memuluskan megaproyek yang merampas ruang hidup rakyat. Di samping itu, saat ini intimidasi semakin masif dilakukan oleh penguasa melalui alat-alatnya terhadap warga yang menolak melepaskan lahannya.
“Banjir di Sepaku akan dijadikan alat legitimasi bagi pemerintah untuk terus melanjutkan proyek dengan dalih pengendalian banjir yang akan merampas ruang hidup warga di sekitar lokasi proyek," tutup dia.
Jawaban Otorita IKN
Otorita IKN telah mengidentifikasi penyebab banjir di Kelurahan Sepaku, di wilayah Nusantara, Kaltim pada 17 Maret lalu.
Penyebabnya adalah hujan yang terjadi di bagian hulu dan adanya gorong-gorong yang tidak optimal sehingga meningkatnya aliran permukaan, lalu ada faktor erosi, kemudian sedimentasi dan pendangkalan sungai.