SuaraKaltim.id - Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) yang merupakan gabungan akademisi dan organisasi masyarakat sipil mengutuk tindakan semena-mena Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) yang memerintahkan pembongkaran rumah-rumah warga di Pemaluan, Penajam Paser Utara (PPU).
KMS menilai, ancaman tersebut jelas merupakan tindakan kasar pemerintah. Ini memperlihatkan wajah asli pemerintah yang menggusur dan mengambil alih tanah rakyat atas nama pembangunan.
Dalam keterangan tertulisnya, KMS Kaltim mengatakan tindakan Otorita IKN ini serupa dengan rezim otoritarian orde baru yang represif dan menghalalkan segala cara.
Perlu diketahui, beberapa waktu lalu Otorita IKN melayangkan surat ke warga Pemaluan untuk merobohkan rumahnya sendiri dalam tempo 7 hari.
Baca Juga:Mei 2024, Otorita Targetkan Groundbreaking Proyek Pendidikan di IKN
Pemerintah berdalih, perintah itu dikeluarkan lantaran rumah-rumah tersebut tidak berizin dan tidak sesuai tata ruang IKN. Padahal, banyak warga yang sudah bermukim di kawasan itu jauh sebelum pemerintah menetapkan IKN Nusantara di Kecamatan Sepaku, PPU.
‘’Ini adalah bentuk intimidasi yang menyebar teror dan ketakutan kepada warga. Sama persis yang dilakukan terhadap Wadas, Rempang, Poco Leok, Air Bangis, dan lainnya,’’ kata Perwakilan KMS Kaltim, Herdiansyah Hamzah melansir dari kaltimtoday.co--Jaringan Suara.com, Rabu (13/03/2024).
Lebih jauh Herdiansyah Hamzah menjelaskan, pemaksaan pembongkaran bangunan dengan dalih tidak berizin terhadap tanah warga yang telah dikuasai jauh sebelum pembangunan IKN, serupa dengan praktik yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia di masa penjajahan.
Melalui praktik politik “Domein Verklaring” yang menyatakan “barangsiapa yang tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah maka tanah menjadi tanah pemerintah,’’ itu dilakukan pemerintah terhadap warganya sendiri di Pemaluan.
“Politik penjajah ini diberlakukan sebagai dalih untuk merampas tanah-tanah rakyat. Ketentuan Domein Verklaring telah dihapuskan melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, negara bukan sebagai pemilik tanah, namun mengemban tugas mengatur peruntukan sumber daya alam yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,’’ tegas pria yang akrab disapa Castro ini.
Baca Juga:4 Kue Khas Kalimantan Timur yang Wajib Dicoba Saat Ramadan
Pemaksaan pembongkaran bangunan dan pengusiran dengan dalih tidak berizin dan tidak sesuai tata ruang dinilai sebagai cara-cara penjajah dalam merampas tanah rakyat.
Upaya paksa penyingkiran masyarakat adat dengan dalih pelanggaran atas Tata Ruang IKN pun dianggap bentuk genosida terhadap masyarakat adat.
Pemerintah, sebut Castro, menjadikan Peraturan Presiden Nomor 64/2022 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara, sebagai landasan pembongkaran paksa bangunan masyarakat lokal dan masyarakat adat, merupakan produk hukum yang dibuat tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah wilayah.
Castro menilai hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 65 UU Nomor 26/2007 Tentang Penataan Ruang, yang mengamanatkan untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang, yang meliputi perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Tanpa pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat, menyebabkan tata ruang tidak menjadi alat mensejahterakan masyarakat namun justru menjadi ancaman hilangnya hak-hak masyarakat.
‘’Pemerintah lupa, jika negara pada hakekatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan kepentingan para pemodal, apalagi sekadar obsesi pemindahan IKN,’’ tegasnya.
Untuk diketahui, dalam putusan perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi menegaskan terdapat 4 aspek yang digunakan sebagai tolok ukur dalam menguji makna penguasaan negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Dan Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Dengan berbagai bentuk kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah itu, KMS Kaltim mengeluarkan 5 pernyataan sikap, yakni:
- Menolak upaya-upaya penggusuran paksa masyarakat lokal dan masyarakat adat dari tanahnya dengan dalih apapun;
- Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat merupakan bagian kelompok rentan yang sudah menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan bukan justru mengalami pembongkaran paksa dan upaya-upaya pemaksaan penggusuran atas nama pembangunan IKN;
- Menyatakan dokumen Tata Ruang yang dibentuk tanpa partisipasi sejati masyarakat lokal dan masyarakat adat adalah dokumen yang cacat hukum;
- Menolak pembangunan IKN yang menggusur hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat
- Menyerukan kepada seluruh rakyat, untuk membangun solidaritas bersama. Hanya dengan cara bersatulah, keputusan penguasa yang menindas dan tidak memihak rakyat, bisa kita lawan!