Dari Samarinda, Seruan Perlawanan terhadap Kekerasan pada Jurnalis Perempuan

Ia menegaskan bahwa penting bagi jurnalis perempuan untuk membentuk solidaritas kolektif, termasuk melalui pelatihan keamanan holistik dan organisasi berbasis gender.

Denada S Putri
Kamis, 01 Mei 2025 | 21:11 WIB
Dari Samarinda, Seruan Perlawanan terhadap Kekerasan pada Jurnalis Perempuan
Suasana Diskusi Publik bertemakan "Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan" di Aula Kantor PWI Kaltim Jalan Biola, Sabtu (26/04/2025). [SuaraKaltim.id/Giovanni]

SuaraKaltim.id - Disahkannya Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memunculkan kekhawatiran serius di tengah masyarakat.

Dominasi militer di ruang sipil dianggap berpotensi melemahkan supremasi sipil dan mengganggu keseimbangan demokrasi.

TNI yang semestinya bertugas dalam urusan pertahanan negara kini dikhawatirkan akan merambah ranah pengambilan keputusan sipil dan politik.

Kondisi ini memunculkan keraguan terhadap netralitas militer, yang bisa berdampak negatif pada kualitas demokrasi, termasuk terhadap kebebasan pers.

Baca Juga:Bulan Inklusi Keuangan 2024: PNM Hadirkan Akses Modal untuk Perempuan Prasejahtera di Wilayah 3T

Posisi jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi juga menjadi rentan, mengingat peran mereka dalam menyuarakan kepentingan publik, mengawasi kekuasaan, dan menyampaikan kebijakan kepada masyarakat.

Dalam konteks ini, jurnalis perempuan menghadapi tantangan yang semakin berat.

Bentuk kekerasan terhadap mereka semakin kompleks, mulai dari intimidasi, pelecehan seksual, serangan digital, hingga pembunuhan berbasis gender atau femisida.

Pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan berasal dari berbagai latar belakang, termasuk aparat negara, pejabat publik, bahkan sesama jurnalis.

Beberapa waktu setelah revisi UU TNI disahkan pada masa pemerintahan Presiden Prabowo, sudah muncul sejumlah kasus yang menyeret jurnalis perempuan sebagai korban.

Baca Juga:55 Anggota DPRD Kaltim 2024-2029 Resmi Dilantik: 31 Wajah Baru Masuk, Keterwakilan Perempuan Menurun

Antara lain menimpa jurnalis Juwita di Banjarmasin dan Francisca.

Budaya kekerasan dan dominasi yang dilegitimasi oleh militerisme dinilai menjadi ancaman serius bagi profesi jurnalis, terutama bagi perempuan.

Melihat perkembangan ini, Perempuan Mahardhika Samarinda melalui Komite Basis Jurnalis menggelar diskusi publik bertajuk “Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan” di Aula Kantor PWI Kaltim, Jalan Biola, pada Sabtu , 26 April 2025.

Diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber utama, yakni Titah dari Komite Basis Jurnalis dan Noviyatul dari AJI Samarinda.

Suasana Diskusi Publik bertemakan "Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan" di Aula Kantor PWI Kaltim Jalan Biola, Sabtu (26/04/2025). [SuaraKaltim.id/Giovanni]
Suasana Diskusi Publik bertemakan "Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan" di Aula Kantor PWI Kaltim Jalan Biola, Sabtu (26/04/2025). [SuaraKaltim.id/Giovanni]

Data hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan PR2Media pada 2022 mencerminkan tingginya angka kekerasan seksual yang dialami jurnalis perempuan di Indonesia.

Dari 852 responden di 34 provinsi, tercatat 82,6 persen atau sekitar 704 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual, baik secara daring maupun luring.

Kekerasan itu meliputi body shaming, catcalling, pelecehan melalui pesan seksual, sentuhan fisik yang tidak diinginkan, hingga pemaksaan seksual.

Komnas Perempuan juga mencatat adanya 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024, termasuk 20 kasus kekerasan fisik.

Sedangkan berdasarkan data AJI, dalam periode Januari hingga Maret 2025, tercatat 23 kasus kekerasan terhadap jurnalis, lima di antaranya melibatkan jurnalis perempuan.

Survei lainnya menunjukkan bahwa 70–86 persen jurnalis perempuan mengalami kekerasan selama menjalani profesinya, baik secara fisik maupun digital.

Angka tersebut mencerminkan ancaman yang nyata dan terus membayangi mereka.

Titah menjelaskan bahwa sebelum revisi UU TNI disahkan pun, jurnalis perempuan sudah kerap menghadapi kekerasan dan intimidasi yang jarang dialami oleh jurnalis laki-laki.

Ia menekankan bahwa kekerasan tersebut sering kali bersifat seksis dan berbasis gender.

"Ini bentuk nyata dari femisida, dia dibunuh karena gendernya," ucap Titah.

Fenomena serupa juga terjadi di Samarinda.

Baru-baru ini, seorang jurnalis perempuan diintimidasi oleh narasumber karena dianggap menanyakan isu yang tidak sesuai dengan agenda acara yang dihadiri.

Menurut Titah, ketergantungan media terhadap pemerintah menambah beban kerja jurnalis perempuan, karena tekanan bisa datang dari internal media tempat mereka bekerja maupun saat menjalankan tugas jurnalistik di lapangan.

"Satu suara tidak akan melawan sistem kekerasan. Tetapi bersama-sama, jurnalis bisa bersatu untuk melawan sistem kekerasan," tegasnya.

Sementara itu, Noviyatul menilai bahwa revisi UU TNI menambah lapisan baru kerentanan bagi jurnalis perempuan.

Padahal, kerentanan tersebut sebelumnya saja sudah seperti fenomena gunung es—tampak kecil di permukaan tetapi besar di bawahnya.

Ia mengungkapkan bahwa Dewan Pers Indonesia sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Nomor 02/PERATURAN-DP/IV/2024 tentang SOP penanganan kekerasan seksual di lingkungan media.

Namun implementasinya masih sangat terbatas.

Dewan Pers juga telah mengimbau perusahaan media untuk menaati kode etik jurnalistik dalam peliputan kasus kekerasan seksual, termasuk menjaga kerahasiaan identitas korban dan menghindari pemberitaan yang dapat memperburuk kondisi korban.

Namun, menurut Novi, belum banyak media yang menerapkan aturan tersebut secara menyeluruh.

"AJI Samarinda sendiri memiliki SOP sendiri dan Satgas sendiri. Tetapi masih banyak tantangan yang harus dihadapi," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa penting bagi jurnalis perempuan untuk membentuk solidaritas kolektif, termasuk melalui pelatihan keamanan holistik dan organisasi berbasis gender di bidang media.

"UU TNI tidak menuju kebaikan. Karena banyak kasus kekerasan kepada media yang pelakunya oleh TNI. Karena, pada dasarnya jurnalis harus berpikir dengan merdeka dalam membuat sebuah pemberitaan," tegasnya.

Kedua narasumber tersebut berhasil menggugah semangat peserta diskusi untuk lebih vokal dalam menyuarakan perlindungan bagi jurnalis perempuan.

Diskusi tersebut menyimpulkan bahwa berserikat merupakan langkah strategis agar jurnalis perempuan bisa terlindungi secara kolektif dan mampu memperjuangkan hak-hak mereka.

Perempuan Mahardhika Samarinda pun mengajak jurnalis perempuan bergabung dalam Komite Basis Jurnalis.

Komite ini menjadi wadah perjuangan melawan dominasi patriarki di ruang redaksi maupun lapangan, serta mendorong penerapan SOP penanganan kekerasan seksual di institusi media.

Kontributor: Giovanni Gilbert

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini