SuaraKaltim.id - Pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) yang dilakukan pemerintah pusat mulai menimbulkan guncangan serius di daerah.
Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi salah satu provinsi yang terkena imbas, dengan pemotongan hingga 50 persen dibanding tahun sebelumnya.
Jika pada 2024 Kaltim menerima sekitar Rp 14 triliun, maka pada 2025 jumlahnya tinggal Rp 7 triliun.
Kondisi ini membuat program strategis seperti pendidikan gratis (GratisPol) dan pembangunan infrastruktur di kawasan tertinggal terancam keberlanjutannya.
Baca Juga:Mahulu dan Kubar Prioritas: Gratispol Jadi Alat Pemerataan Pendidikan Kaltim
Pemangkasan tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam APBN, yang diteken 29 Juli lalu
Aturan ini berlaku untuk seluruh provinsi, sebagai langkah pemerintah pusat mengendalikan beban fiskal nasional.
Efek Domino Utang Negara
Pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi, menilai kebijakan ini tak bisa dilepaskan dari krisis fiskal yang ditimbulkan oleh beban utang negara.
“Tahun depan beban bunga utang pemerintah mencapai Rp 600 triliun. Pokok utangnya bisa tembus Rp 1.000 triliun. Total hampir Rp 1.600 triliun hanya untuk membayar kewajiban utang. Kalau target pajak nasional cuma Rp 2.000 triliun, itu artinya 80 persen pendapatan negara habis untuk utang,” jelasnya, dikutip dari Presisi.co--Jaringan Suara.com, Selasa. 26 Agustus 2025.
Baca Juga:Bukan Tanpa Alasan, DPRD Kaltim Ungkap Kendala Realisasi Gratispol
Ia menambahkan, ketika pusat tertekan, daerah pasti merasakan dampaknya.
“Kalau pusat batuk-batuk, daerah pasti ikut panas dingin,” ujarnya.
Purwadi juga menyoroti lemahnya transparansi penggunaan anggaran hasil efisiensi.
“Kita tidak tahu dana efisiensi ini diarahkan ke mana. Belum lagi dana hasil sitaan korupsi yang tidak pernah diumumkan jelas penggunaannya. Padahal bicara good governance itu harus transparan dan akuntabel,” tegasnya.
GratisPol dan Infrastruktur dalam Ancaman
Program GratisPol yang jadi unggulan Pemprov Kaltim kini berada di persimpangan.
Tahun ini alokasi dana untuk mahasiswa baru diperkirakan Rp 750 miliar, namun pada 2026 nilainya bisa melonjak hingga Rp 1,2 triliun.
“Kalau sekarang saja berat, bagaimana nanti? Ini program ambisius. Tanpa jaminan pendanaan yang stabil, implementasinya bisa goyah,” ucap Purwadi.
Pembangunan jalan strategis di perbatasan Mahakam Ulu pun berisiko terhenti.
Gubernur sebelumnya menyebut kebutuhan tembusan jalan ke Mahulu saja mencapai Rp 200 miliar.
DPRD: Sudah Masuk Fase Krisis
Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menilai kondisi fiskal daerah saat ini sudah mengkhawatirkan.
“Kita ini sudah masuk fase yang tidak baik-baik saja. Tahun ini pemotongan 50 persen, tahun depan bisa 75 persen. Banyak daerah akan terdampak, termasuk potensi keterlambatan pembayaran gaji ASN,” ujarnya.
Ia juga menyoroti potensi memburuknya kondisi fiskal kabupaten/kota akibat terpangkasnya bantuan keuangan (bankeu) dari provinsi.
Karena itu, Hasanuddin mendorong daerah menggali lebih banyak Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Kita harus mulai berani berdiri sendiri. Jangan bergantung pada pusat. Ada potensi PAD yang belum digarap serius. Regulasi perlu diperbaiki agar bisa ditagih,” tegasnya.
Sekda: Masih Tunggu Arahan Pusat
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim sendiri mengaku belum menerima rincian teknis pemotongan TKD.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kaltim, Sri Wahyuni, menyebut langkah penyesuaian belum bisa dilakukan sebelum ada arahan lebih jelas.
“Kami belum terima penjelasan lengkap. Tanpa itu, kami tidak bisa memastikan dampak langsung terhadap program-program pembangunan,” ujarnya.
Sri menambahkan, sebagian pengurangan TKD 2025 juga dialokasikan untuk menutup kekurangan tahun 2024.
Jangan Lupakan Hak Dasar Rakyat
Meski efisiensi dianggap wajar, Purwadi mengingatkan pemerintah pusat tetap harus menjamin layanan dasar masyarakat.
“Jangan sampai anggaran untuk listrik, BBM, LPG, beras, pendidikan, kesehatan, dipotong. Itu kebutuhan dasar. Negara harus tetap hadir,” tegasnya.
Ia pun mengkritik gaya hidup pejabat yang masih konsumtif di tengah defisit fiskal.
“Jangan rakyat disuruh irit, sementara pejabat tetap hedon. Mobil baru, rumah jabatan baru, tunjangan naik. Ini mencederai rasa keadilan,” pungkasnya.