Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Selasa, 21 Mei 2024 | 15:20 WIB
Pelantun Tarsul, seni bertutur mirip pantun masyarakat Kutai. [Ist]

SuaraKaltim.id - Masyarakat Suku Kutai memiliki beragam kesenian tradisional yang masih dilestarikan hingga kini. Salah satu kesenian tradisional itu adalah Tarsul.

Tarsul adalah kesenian tradisional berupa nyanyian yang berkembang di tengah masyarakat Kutai Kertanegara.

Secara etimologi, Tarsul sendiri berasal dari dua suku kata yakni Tar dan Sul. Tar sendiri memiliki arti sebuah kalimat atau bait syair yang menjadi pengantar atau permulaan.

Kemudian Sul ini adalah kalimat atau bait syair yang digunakan sebagai penyusul atau balasan dari Tar tadi.

Baca Juga: Menyibak Misteri Gua Gunung Kombeng: Kisah Penyelamatan Arca Hindu dan Situs Kerajaan Kutai

Jika digabungkan, maka Tarsul merupakan sejenis pantun dengan syair bersusul yang saling berbalas-balasan.

Sama seperti pantun, syair pada bait pertama atau Tar adalah menanyakan sesuatu, sementara pada bait selanjutnya adalah jawaban dari bait pertama.

Hingga kini, tradisi Tarsul atau tradisi lisan masyarakat Kutai ini masih terpelihara dengan baik dan biasanya diselenggarakan di berbagai upacara atau festival kesenian adat.

Tarsul mirip seperti pantun karena liriknya adalah pesan yang saling berbalas-balasan dengan nyanyian atau syair.

Keunikan dari tradisi Tarsul ini sampai membuat pemerintah resmi menjadikannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dan Warisan Budaya Benda (WBB) Indonesia.

Baca Juga: Kisah Gunung Kombeng, Misteri Penyelamatan Patung Hindu di Balik Agresi Kutai Kertanegara

Peresmian dari Tarsul sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia ini ditetapkan melalui SK Kemendikbudristek nomor 414/P/2022 tanggal 21 Oktober 2022.

Tradisi Tarsul ini berkaitan dengan agama Islam karena memiliki syair dan bait-bait sastra yang berisi tentang nasihat kehidupan dalam beragama.

Selain itu, Tarsul juga biasanya berisi syair yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya dalam masyarakat Kutai.

Sebelumnya, Tarsul ini dikembangkan dan semakin tumbuh secara cepat karena masyarakat Kutai di pesisir Kalimantan Timur, terutama mereka yang beragama Islam.

Di masyarakat Kutai, Tarsul masih terus dilestarikan dan biasanya dipentaskan oleh para seniman saat pembukaan Erau, upacara adat paling meriah di Kalimantan Timur.

Kemudian, selain digelar saat pertunjukkan Erau, beberapa masyarakat yang masih kental adatnya juga menggunakan Tarsul ketika mengantar calon mempelai pria ke rumah calon mempelai wanita.

Jadi, Tarsul akan dilakukan oleh pihak mempelai pria sebelum memasuki rumah, dan ada pihak mempelai wanita yang mewakili untuk betarsul terlebih dahulu.

Tradisi Tarsul saat mengantar pengantin di Kalimantan Timur ini mirip dengan tradisi suku Betawi di Jakarta yang kerap berbalas pantun saat hendak memasuki kediaman mempelai wanita.

Perbedaannya antara Tarsul dengan balas-berbalas pantun ala Suku Betawi adalah terletak di nyanyian dan syair yang dibuat lebih islami.

Kontributor : Maliana

Load More