Denada S Putri
Senin, 13 Oktober 2025 | 17:51 WIB
Istana Garuda di IKN. [Ist]
Baca 10 detik
  • Pemprov Kaltim menghadapi ancaman pengetatan fiskal pada 2026 akibat proyeksi penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) dari Rp 6–7 triliun menjadi hanya sekitar Rp 1,6 triliun, yang berpotensi menghambat pembangunan daerah penghasil sumber daya nasional.

  • Akademisi menilai pemangkasan DBH mencerminkan ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah, terutama ketika anggaran nasional lebih banyak terserap untuk proyek dan birokrasi pusat, termasuk megaproyek IKN.

  • Kritik diarahkan pada kebijakan pusat yang dinilai tidak adil dan tidak transparan, dengan desakan agar efisiensi dimulai dari pemerintah pusat—bukan terus menekan daerah yang sudah menanggung beban lingkungan dan infrastruktur akibat proyek nasional.

SuaraKaltim.id - Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) kini menghadapi ancaman pengetatan fiskal menyusul proyeksi penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) tahun 2026 secara signifikan — dari kisaran Rp 6–7 triliun menjadi hanya sekitar Rp 1,6 triliun.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan pembangunan di daerah penghasil sumber daya utama Indonesia tersebut.

Meski begitu, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud masih menaruh harapan akan adanya ruang dialog dan koreksi kebijakan dari pemerintah pusat.

Hal itu disampaikan usai pertemuan di Kementerian Keuangan RI beberapa waktu lalu.

“Masih ada ruang untuk komunikasi dan memperjuangkan kepentingan daerah,” sebutnya, disadur dari Presisi.co--Jaringan Suara.com, Senin. 13 Oktober 2025.

Sementara itu, kalangan akademisi menilai kebijakan tersebut berpotensi memperlebar ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menilai kebijakan pemangkasan DBH tersebut sebagai bentuk sentralisasi yang tidak adil.

“Kalau benar hanya Rp 1,6 triliun, sebagian besar akan habis untuk pembiayaan pendidikan gratis. Itu belum menyentuh sektor lain,” kata Purwadi.

Ia mengingatkan bahwa Kaltim selama ini menjadi kontributor besar bagi perekonomian nasional, namun kerap menerima porsi fiskal yang tidak sebanding.

Baca Juga: PPU Perkuat Ekonomi Hijau Lewat Bank Sampah di Kawasan IKN

“Kalau daerah penghasil seperti Kaltim terus ditekan, efeknya pasti akan berbalik ke pusat juga. Ini bukan cuma soal efisiensi, tapi soal keadilan fiskal,” tegasnya.

Purwadi juga mengkritik pola komunikasi pemerintah pusat yang dianggap kerap menyudutkan daerah dengan tudingan penyimpangan tanpa dasar kuat.

“Kalau ada penyalahgunaan, buktikan. Jangan bangun stigma yang justru merusak kepercayaan publik terhadap daerah,” ujarnya.

Ia mencontohkan, jika dana Rp 1,6 triliun dibagi ke seluruh kabupaten/kota, wilayah kecil seperti Mahakam Ulu (Mahulu) kemungkinan hanya memperoleh sekitar Rp 200 miliar.

“Itu pun hanya cukup untuk pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan,” tambahnya.

Lebih jauh, Purwadi menilai ketimpangan semakin terlihat dari arah belanja negara yang masih dominan untuk proyek dan birokrasi pusat.

Load More