SuaraKaltim.id - Adanya penggunaan gas metan sebagai bahan bakar warga untuk memasak yang berada di sekitar Tempat Pemerosesan Akhir Sampah (TPAS) Manggar, sejatinya diharapkan bisa membantu di tengah makin tingginya harga gas elpiji.
Namun nyatanya, sejumlah pelaku usaha yang menggunakan gas metan mulai mengeluh. Pasalnya, gas metan yang digunakannya tidak lagi maksimal.
Hal ini disampaikan Sutrisno (44) warga RT 95, Kelurahan Manggar, yang keseharian memiliki usaha pembuatan tahu tempe dibantu sang istri Sunarsih (42).
Ia mengaku, menggunakan gas metan secara penuh selama kurang dari 2 bulan. Setelah itu, tidak lagi sepenuhnya memakai gas metan.
Baca Juga:Longsor di Balikpapan Utara, 3 Rumah Hancur dan Rata: Bapaknya Tadi Agak Luka Sedikit
“Sekarang campur pakai kayu bakar. Kalau untuk merebus air untuk masak tahu saya pakai kayu bakar. Gas metan itu untuk goreng tahu dan tempe saja,” ungkapnya, melansir dari Inibalikpapan.com--Jaringan Suara.com, Kamis (6/11/2022).
Ia mengaku, awal penggunaan gas metan itu sejak 2019 silam. Kala itu, belum banyak warga yang menggunakan.
Sehingga, untuk menyambungkan pipa gasnya, ia membeli pipa hingga 64 batang yang ukuran 2 inci dengan total seharga Rp 5 jutaan.
“Karena dulu gas metannya masih besar, rencananya mau tak bikin usaha tahu tapi pas sudah berjalan tetap gak kuat gas metannya,” ujarnya.
Bahkan sempat juga didatangi pihak UPT TPA Manggar dilakukan pengecekan ke lokasi, gasnya memang besar, tapi kalau dipakai merebus tahu kurang cepat dan panas.
Baca Juga:Balikpapan Tak Ikut Porprov Kaltim, Atletnya Pilih Pindah ke Jakarta
“Jadi untuk masak di dapur masih kuat gas metannya, tapi kalau sekarang bikin tahu dari kedelai tak ubah lagi pakai kayu, sekarang gas metan dipakai hanya untuk merebus tempe sama goreng tahu,” akunya.
Menurutnya, sudah satu minggu ini gas metannya hidup mati. Kemungkinan pipa jaringan ke tempatnya ada airnya, biasanya seperti itu kalau ada airnya sering terhambat gas metannya.
“Tapi ini sudah saya cek gak ada airnya, bahkan sempat mati total sehari,” tambahnya.
Diakuinya, dalam satu bulan kala masih menggunakan gas metan ia membayar Rp 100 ribu. Nilai tersebut merupakan inisiatifnya sendiri dikarenakan penggunaan untuk usaha, berbeda dengan warga biasa yang dipatok sebulan hanya membayar biaya retribusi gas metan senilai Rp 10 ribu.
“Itu inisiatif saya aja mas, tapi karena sekarang jarang pakai gas metan untuk iuran retribusinya tetap membayar Rp 10 ribu perbulan,” ucapnya.
Ia mengaku percuma untuk komplain, dan lebih memilih kembali menggunakan kayu bakar, mesti sesekali menggunakan gas metan meski butuh waktu lama untuk proses pembuatan tahu hingga satu jam. Hal ini berbeda hitungan saat menggunakan kayu bakar yang tak sampai satu jam sudah bisa diolah.
Dalam sehari Sutrisno mampu mengolah 75 Kg tahu dan 50 Kg tempe yang dijual di Pasar Manggar dengan harga yang berbeda kisaran Rp 2 ribu sampai Rp 5 ribu untuk tempe dan Rp 5 ribu untuk tahu satu bungkus isi 10.
“Ya mudah-mudahan bisa diperbaiki, gasnya memang besar tapi panasnya saja yang kurang,” tandasnya.
Terpisah, Kepala UPTD TPA Manggar Muhammad Haryanto mengakui aliran gas kerap tersendat untuk warga yang lokasinya agak jauh. Mengingat, jumlah warga yang menikmati makin bertambah.
“Iya pak, kadang ga stabil. karena faktor cuaca, volume sampah dan air lindi nya. Apalagi pengguna juga semakin bertambah,” sebutnya.
Saat ini, anggota warga TPA Manggar yang memanfaatkan gas metan berjumlah 280 KK. Kedepannya, rencana ada pelatihan untuk warga atau perwakilan dari RT untuk menjadi teknisi pemelihara jaringan pipa gas methan.
”Karena selama ini masih dibantu tim dari TPA. Supaya ada yang tiap hari melakukan pemeliharaan dan pengecekan di tempat warga,” pungkasnya.