SuaraKaltim.id - Suku Dayak Bahau merupakan salah satu sub rumpun Dayak yang dikenal sebagai pecahan dari suku Dayak Tunjung.
Lantaran ingin mengembangkan budayanya sendiri, lama kelamaan kelompok di suku Dayak itu pecah dan berdiri sendiri.
Dayak Bahau terdiri dari tiga subkelompok yakni Bahau Modang, Bahau Busang dan Bahau Saq dan dari tiga subkelompok ini dibagi lagi menjadi 14 kelompok yang lebih kecil.
Keunikan dari Suku Dayak Bahau adalah suku ini memiliki masyarakat yang masih melanggengkan tradisi memanjangkan telinga.
Baca Juga:Ngawat, Prosesi Meminta Bantuan pada Roh dalam Upacara Belian Bawo
Adapun masyarakat generasi tua biasanya masih terlihat dengan ciri pemakaian tattoo dan telinga panjang. Tradisi ini masih dapat dilihat pada suku Dayak Kenyah, Bahau dan Kayan.
Sama seperti suku lainnya, suku Dayak Bahau ini memiliki kebiasaan memanjangkan telinga menggunakan hisang atau anting-anting yang dipasang di sekeliling daun telinga.
Masing-masing anting akan digunakan ketika wanita berumur 5 tahun dan ketika umur bertambah maka anting pun bertambah, baik ukuran maupun jumlah.
Suku Dayak Bahau lebih memilih menggunakan anting perak dan tradisi memanjangkan telinga ini merupakan simbol kecantikan perempuan Dayak.
Suku Dayak Bahau saat ini umumnya tinggal di pinggiran sungai dengan rumah-rumah mereka berjejeran di sepanjang sungai.
Baca Juga:Sejarah dan Asal Usul Nama Suku Dayak Tunjung, Disebut Jelmaan Para Dewa
Populasi Dayak Bahau juga tersebar di kawasan Kecamatan Muara Wahau, Kecamatan Busang di Kutai Timur dan sebagian Kecamatan Tabang di Kutai Kartanegara.
Menurut legenda yang hidup dikalangan orang Bahau, di zaman dahulu diceritakan nenek moyang mereka berasal dari Sungai Bram di Brunai.
Kemudian karena ada peperangan dengan orang Iban, orang Bahau pindah menuju Sungai Kayan atau ke Apo Kayan dan sebagian ke Hulu Mahakam.
Dengan alasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, sebagian dari mereka kemudian pindah ke Long Merah, hingga sampai di Sungai Belayan Muara Keba pada tahun 1995.
Dalam cerita yang berkembang, perjalanan yang mereka tempuh memakan waktu dua hari dua malam dan setiap rombongan yang bermigrasi, kurang lebih ada sekitar 40 orang.
Perjalanan yang mereka tempuh pun tidak mudah karena melalui hutan belantara dan sepanjang aliran sungai hingga tidak jarang anggota rombongan yang menderita sakit.
Saat ini, suku Dayak Bahau ini hidup berbaur dengan suku bangsa lainnya dan mengembangkan kerukunan hidup yang baik karena banyak di antara mereka yang menikah antar budaya.
Kendati demikian, identitas Bahau tetap mereka pertahankan, bukan saja dalam bahasa, tetapi dalam melestarikan tradisi nenek moyangnya.
Kontributor : Maliana