Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Rabu, 02 Juli 2025 | 17:33 WIB
Rudy Mas'ud dan Seno Aji. [Ist]

SuaraKaltim.id - Meski diluncurkan dengan semangat menghapus hambatan biaya pendidikan, program GratisPol milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) mendapat kritik tajam dari kalangan akademisi.

Program ini dinilai belum mampu menjangkau kelompok paling rentan, bahkan berpotensi memperkuat ketimpangan yang sudah lama mengakar.

Dalam diskusi publik bertema “Arah Program GratisPol dan Masa Depan Pendidikan Kaltim” yang digelar di Teras Samarinda pada Senin, 30 Juni 2025, sosiolog Sri Murlianti menyampaikan bahwa kebijakan ini justru cenderung mengulang pendekatan lama yang elitis.

“Program ini tidak jauh berbeda dari beasiswa konvensional yang sudah ada sebelumnya. Semangat awalnya untuk menghapus hambatan biaya dan birokrasi bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, justru makin kabur,” ujar Murlianti, disadur dari Presisi.co--Jaringan Suara.com, Rabu, 2 Juli 2025.

Baca Juga: Baru 110 dari 965 Naskah Kuno di Kaltim Terinventarisasi, DPK Minta Partisipasi Publik

Menurutnya, pola seleksi dan pelaksanaan program pendidikan di Kaltim selama ini terlalu fokus pada capaian akademik, tanpa melihat ketimpangan sosial dan geografis yang menghambat siswa dari wilayah pedalaman.

“Anak-anak desa bukan tidak mampu, mereka hanya tidak pernah diberi ruang untuk berkembang sejak pendidikan dasar. Mereka tertinggal bukan karena bodoh, tapi karena sistemnya timpang sejak awal,” katanya.

Murlianti mencontohkan kondisi nyata di Desa Enggelam, Kutai Kartanegara (Kukar), di mana akses ke sekolah dasar saja memerlukan perjalanan jauh.

Ketimpangan semakin terasa di jenjang SMP, karena fasilitas pendidikan umumnya hanya tersedia di ibu kota kecamatan, sementara beban biaya menjadi kendala besar bagi banyak keluarga.

“Kalau kita bicara generasi emas Kaltim, faktanya 80 persen anak-anak dari pedalaman bahkan tidak sampai ke SMA, apalagi perguruan tinggi. Yang dibantu selama ini hanya 20 persen yang berhasil keluar dari lingkaran ketimpangan itu,” tegasnya.

Baca Juga: Sumardi Soroti Program Bontang Terang Terus: Banyak Wilayah Masih Gelap

Murlianti juga menyoroti pendekatan GratisPol yang masih terbatas hanya pada pembiayaan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Padahal, bagi mahasiswa dari desa, beban utama justru terletak pada kebutuhan hidup sehari-hari seperti tempat tinggal dan makan.

“UKT itu hanya seperlima dari total biaya pendidikan. Kalau hanya itu yang ditanggung, keberpihakan kita masih setengah hati. Lebih baik kos dan makan yang ditanggung, daripada hanya UKT,” ujarnya.

Ia mengingatkan, jika tak ada keberpihakan nyata melalui skema afirmatif, subsidi pendidikan justru akan dinikmati oleh mereka yang relatif sudah mampu secara sosial dan ekonomi.

“Yang sering terbantu justru anak-anak elite desa yang sudah punya akses. Padahal, yang paling membutuhkan justru tidak sanggup kuliah sejak awal,” katanya.

Sebagai solusi, Murlianti menekankan perlunya reformulasi arah kebijakan pendidikan di Kaltim, dengan menjadikan afirmasi sosial sebagai fondasi utama.

Load More