Diintimidasi dan Tak Dilindungi, Warga Adat Muara Kate Angkat Senjata

Dampak dari aktivitas hauling bukan hanya polusi debu dan gangguan aktivitas warga seperti anak-anak yang kesulitan sekolah.

Denada S Putri
Kamis, 01 Mei 2025 | 20:36 WIB
Diintimidasi dan Tak Dilindungi, Warga Adat Muara Kate Angkat Senjata
Konferensi Pers LBH Samarinda dan JATAM Kaltim dengan judul “Tagih Janji Gubernur Cuekpol Terhadap Warga Muara Kate dan Batu Kajang pada Selasa (29/04/2025). [SuaraKaltim.id/Giovanni]

SuaraKaltim.id - Pasca aksi demonstrasi yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur di Kantor Gubernur pada Selasa, 15 April 2025, masyarakat adat Muara Kate masih belum mendapatkan kepastian hukum atas kasus pembunuhan yang mereka hadapi.

Merespons situasi tersebut, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda menggelar konferensi pers guna menyampaikan perkembangan terbaru.

Dalam Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus untuk Pengangkutan Batubara dan Kelapa Sawit, secara tegas diatur bahwa perusahaan tidak diperbolehkan menggunakan jalan umum untuk kegiatan hauling.

Namun realitanya, pelanggaran terhadap regulasi ini masih sering terjadi, bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.

Baca Juga:Akmal Malik: Kasus di Paser Adalah Ranah Penegakan Hukum

Setelah aksi unjuk rasa tersebut, 15 warga adat yang ikut serta justru kembali mendapat tekanan dari aparat kepolisian. Bahkan, mereka merasa terpaksa harus mempersenjatai diri demi menjaga keselamatan.

“Kondisi kami di sini berapa hari termasuk kemarin, dari pihak Oknum tetap melobi dan ingin bertemu dengan kita. Saya sudah munyak ini. Kenapa kita selalu mau di lobi,” kata Aspriana pada Selasa, 29 April 2025 lalu, melalui Zoom saat konferensi pers.

Ia menyampaikan bahwa respon pemerintah terhadap kasus di Muara Kate dinilai lambat, meskipun sebelumnya Gubernur Kaltim menyatakan akan berkoordinasi dengan Polda dan Forkopimda.

“Bahkan ada juga bocoran, mereka marah dengan kami yang demo kemarin di sana. Kami juga minta jaminan karena kami selalu diintimidasi, selalu di lobi. Kami ingin masyarakat agar tidak saling dibenturkan. Itu yang kita takutkan,” lanjutnya.

Wartalinus, warga adat lainnya, menyatakan bahwa hingga kini belum ada jaminan perlindungan maupun kejelasan hukum. Oleh karena itu, langkah kewaspadaan tetap diambil untuk mencegah kejadian serupa.

Baca Juga:Satu Bulan Tanpa Kepastian, KMS Kembali Gelar Aksi untuk Kasus Pembunuhan Brutal di Paser

“Sekarang kita tidak lagi melakukan sweeping di jalan. Tapi walaupun begitu, kami tetap melakukan penjagaan dengan cara sembunyi untuk memantau aktivitas di jalan raya,” katanya.

Ia menambahkan, karena masyarakat adat merasa dalam posisi lemah, mempersenjatai diri dianggap sebagai cara bertahan yang terpaksa dilakukan demi keamanan.

Konferensi Pers LBH Samarinda dan JATAM Kaltim dengan judul “Tagih Janji Gubernur Cuekpol Terhadap Warga Muara Kate dan Batu Kajang pada Selasa (29/04/2025). [SuaraKaltim.id/Giovanni]
Konferensi Pers LBH Samarinda dan JATAM Kaltim dengan judul “Tagih Janji Gubernur Cuekpol Terhadap Warga Muara Kate dan Batu Kajang pada Selasa (29/04/2025). [SuaraKaltim.id/Giovanni]

Menanggapi kondisi tersebut, Pengacara Publik LBH Samarinda, Muhammad Irfan Ghazy, mengungkapkan bahwa Komnas HAM telah mengeluarkan surat rekomendasi pada Selasa, 22 April 2025.

“Jadi, surat dari Komnas HAM ini tertuju kepada dua instansi. Yang pertama itu ke gubernur dan yang kedua untuk Kapolda Kaltim,” ucap Irfan.

Dalam surat itu, Komnas HAM meminta Gubernur Kaltim:

  • Menegakkan Perda No. 10 Tahun 2012 secara efektif,
  • Bekerja sama dengan Forkopimda guna menjamin keamanan dan mencegah konflik sosial,
  • Menghentikan total penggunaan jalan umum untuk kegiatan tambang tanpa izin,
  • Memberikan laporan perkembangan kasus kepada Komnas HAM secepatnya.

Sedangkan untuk Polda Kaltim, Komnas HAM merekomendasikan:

  • Memaksimalkan penyelidikan meski bukti dan saksi terbatas,
  • Melanjutkan pemeriksaan terhadap Agustinus Luki yang sempat membawa dua warga tanpa kejelasan tujuan,
  • Menindaklanjuti keterangan Bonar dari unsur ormas Pemuda Pancasila,
  • Mengaktifkan fungsi intelijen dalam pengungkapan kasus,
  • Memberikan perlindungan pada warga yang menolak aktivitas hauling,
  • Mencegah kriminalisasi dan provokasi yang membenturkan warga,
  • Menjalankan proses hukum secara transparan dan akuntabel,
  • Berkoordinasi efektif dengan Forkopimda guna mencegah konflik lanjutan.

“Semenjak tanggal 22 April kemarin, memang saya berkomunikasi juga dengan penyidik. Jadi, sudah kurang lebih ada 15 orang yang dari masyarakat adat yang sudah dipanggil. Tapi, kemungkinan akan banyak lagi yang dipanggil oleh penyidik gitu,” jelasnya.

Irfan menambahkan bahwa aksi 15 April lalu tak hanya berupa protes publik, melainkan juga disertai langkah hukum dengan mengirimkan surat kepada Gubernur untuk menegakkan Perda tersebut.

“Jadi kemarin kita mengirimkan surat kepada gubernur untuk segera melaksanakan Perda 10 tahun 2012 gitu. Ketika misalnya gubernur tidak melaksanakan, tidak punya itikad baik ya, kita mungkin bisa menggugat dia untuk di PTUN,” ucapnya.

Ia menegaskan, langkah hukum itu akan menggunakan skema gugatan perbuatan melawan hukum karena negara dianggap lalai melindungi warganya dan membiarkan perusahaan menggunakan jalan umum secara ilegal.

Dampak dari aktivitas hauling bukan hanya polusi debu dan gangguan aktivitas warga seperti anak-anak yang kesulitan sekolah, tapi juga berimbas pada kerusakan lingkungan dan terhambatnya roda perekonomian lokal.

LBH Samarinda dan JATAM Kaltim berharap seluruh poin dalam rekomendasi Komnas HAM bisa segera ditindaklanjuti agar masyarakat mendapatkan perlindungan, kasus segera terungkap, dan kejadian serupa tidak berulang.

Kontributor: Giovanni Gilbert

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini