Lebih lanjut, Ubaidillah juga mengangkat isu deepfake yang belakangan menyasar tokoh-tokoh publik.
Ia khawatir masyarakat dengan literasi digital rendah, khususnya kelompok usia lanjut di daerah, bisa menjadi korban manipulasi visual berbasis kecerdasan buatan (AI).
“Bayangkan orang tua di daerah yang sangat percaya dengan tokoh-tokoh ini. Mereka tidak bisa membedakan mana video asli dan editan. Ini sangat riskan,” ujarnya.
Yang menarik, Ubaidillah menawarkan pendekatan berbasis nilai-nilai lokal sebagai “tameng” menghadapi hoaks.
Baca Juga:4 Pilihan Sepatu Running Lokal Murah, Nyaman Dilengkapi Teknologi Terkini
Ia mencontohkan bagaimana budaya Jawa dan Sunda sejak lama mengenal prinsip verifikasi:
“Dalam bahasa Jawa, ketika mendengar kabar, orang bertanya ‘Sapa sing ngomong?’ (Siapa yang bicara?). Orang Sunda bilang, ‘Ti saha?’ (dari siapa?). Ini bentuk dasar dari verifikasi,” jelasnya.
Tradisi ini, lanjutnya, bisa menyentuh lapisan masyarakat yang selama ini belum sepenuhnya tersentuh literasi digital formal.
“Nilai-nilai lokal itu bisa menjangkau generasi yang lebih tua. Jadi bukan hanya soal teknologi, tapi juga kearifan tradisi,” tambahnya.
Senada, Hanna Pertiwi, pendiri Yayasan Young Speaker Indonesia, menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam membangun ruang digital yang sehat. Ia mengkritik kecenderungan publik yang menjadikan media sosial sebagai wadah curhat berlebihan.
Baca Juga:PPU Curi Ilmu dari Yogya, Siapkan Masyarakat Lokal Sambut Peran Sentral di IKN
“Aku paham banyak yang lelah jadi perempuan, ibu rumah tangga, atau pekerja. Tapi jangan sampai semua itu dikonversi jadi postingan yang memancing simpati atau caci maki. Harus mulai dari diri sendiri untuk jadi inspirasi,” katanya.
Hanna juga menekankan pentingnya narasi positif dari tokoh-tokoh perempuan yang jarang terekspos.
“Jangan sampai media sosial hanya dipenuhi konten yang memicu drama. Kita butuh konten dari orang biasa yang bisa jadi luar biasa,” tegasnya.
Kontributor: Giovanni Gilbert