SuaraKaltim.id - Dwi Komando Rakyat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dwikora, merupakan komando Presiden Soekarno dalam melancarkan konfrontasi bersenjata terhadap Malaysia.
Dwikora dibuat oleh Presiden Soekarno, di depan apel besar sukarelawan. Kala itu, keinginan Soekarno dikabulkan pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Mereka menggelar operasi Dwikora di sepanjang perbatasan Sabah, Serawak, dan Kalimantan.
Tak ada pernyataan perang secara resmi, ABRI bergerak dengan senyap. Mereka mengirim gerilyawan-gerilyawan untuk membantu Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang berperang melawan pemerintah Malaysia.
Soetoyo, merupakan kakek berusia 83 tahun kini. Ia merupakan seorang veteran perang yang turut berjuang pada pertempuran Dwikora di 1963.
Baca Juga:Pahlawan Versiku
Saat itu dirinya bergabung dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) Batalyon 906. Ia dikirim dari Jawa Timur (Jatim) menuju Kalimantan Timur (Kaltim), sebagai seorang pengaman di pelosok Long Bawan, Krayan, Nunukan.
Saat membagikan pengalamannya, Soetoyo duduk di kursi, menggunakan pakaian dinas kecoklatan, dan memakai baret kuning sembari berkisah soal perjuangannya melawan penjajahan di Indonesia.
Ia mengatakan, dirinya ditempatkan di pos pengaman terdepan dengan empat anggota. Posnya pun bersebelahan dengan pos dari tentara Inggris, Australia, dan Giorgia.
"Pos kami berdekatan dengan pos musuh, jadi ya sering tembak-tembakan dengan menggunakan senjata artileri (Mortir), ungkapnya.
![Kabinet Dwikora Buatan Presiden Soekarno. [Istimewa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/08/17/99659-kabinet-dwikora-buatan-presiden-soekarno-istimewa.jpg)
Seperti yang disampaikan sebelumnya, rutinitas baku tembak ia alami. Saat tentara musuh dengan kekuatan satu pleton menyerang pos yang berada di atas gunung dari posnya, ia bereaksi.
Baca Juga:Pahlawan Era 2021 Haruskah Angkat Senjata?
Soetoyo muda mendengar suara tembakan. Dirinya bersama tim yang berada di pos bawah melihat keatas dan langsung mengejar.
"Dan ternyata saat tiba diatas, saya lihat tiga orang anggota sudah gugur, dan satu lagi tertembak di kaki," katanya.
Pada hari Senin tanggal 1 Januari 1964 sekitar jam 3 malam, ia bersama sembilan anggota lainnya berangkat ke arah gunung, dan melihat tentara musuh sedang berpatroli. Namun, tentara musuh patroli dengan pasukan penuh, akhirnya ia memilih kembali lagi ke markas.
Kemudian, pada siang hari ia kembali bersama anggotanya untuk menyerang. Saat dirinya hendah membidik musuh yang berada di markas, ia ditembak dengan senjata otomatis oleh musuh. Merasa beruntung karena ia tak terkena tembakan, namun dirinya terjatuh dari ketinggian 10 meter.
"Pokoknya saya bertahan disitu, dihujani tembakan, sama mortir oleh tentara musuh. Saat keadaan sudah aman saya bangkit dan balik ke pos," ceritanya.
Akibat penyerangan itu, beberapaa rekannya menjadi korban. Memutuskan untuk sementara menghentikan perlawanan, dirinya bersama anggota ditarik kembali ke markas besar yang kala itu ada di Kota Minyak, Balikpapan.
Perjuangan Soetoyo tak berhenti disitu. Ia bersama rekan-rekannya mendengar informasi bahwa Long Pahae, perbatasan Mahakam Ulu (Mahulu) akan diserang.
![Kabinet Dwikora Buatan Presiden Soekarno. [Istimewa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/08/17/90392-kabinet-dwikora-buatan-presiden-soekarno-istimewa.jpg)
Soetoyo muda kembali dikirim bersama anggota lainnya untuk membantu batalyon 611.
Sebagai regu tambahan kala itu, ia dan anggota lainnya menunggu instruksi pasti dari para pimpinan. Ia pun terus berjaga selama berada di lokasi Batalyon 611.
Di 1966, penyerangan tak terjadi. Instruksi dari pimpinan mengatakan bahwa perang sudah selesai.
"Setelah itu kami langsung kembali ditarik ke markas besar," kenangnya.
Kakek kelahiran Kediri juga mengaku, sempat ikut menumpas gerombolan DI/TII pimpinan Ibnu Hajar di Grogot, sebelum menjaga perbatasan Indonesia-Malaysia.
Pria kelahiran 2 November 1942 ini mendapatkan penghargaan Dwikora atas jasanya, dan mendapatkan prestasi karena kemampuannya sebagai prajurit.
Kini, ia menjadi Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Samarinda. Ia memimpin 25 anggota veteran yang sudah terdaftar di LVRI.
![Kopral Soetoyo saat menceritakan perjuangannya dalam Dwikora. [Suara.com/Apriskian Tauda Parulian]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/08/17/83855-kopral-soetoyo-saat-menceritakan-perjuangannya-dalam-dwikora-suaracomapriskian-tauda-parulian.jpg)
Menjadikan pengalamannya sebagai contoh untuk kaula muda saat ini
Ia mengatakan, pengalaman muda dahulu berbeda dengan sekarang. Dulu, peperangan sudah menjadi hal biasa dan diikuti oleh kaum muda.
Baik secara resmi mendaftarkan diri dalam kelompok tentara, atau pun secara sukarela. Karena tujuannya hanya satu, mempertahankan Bumi Pertiwi.
Hal ini yang diharapkan Soetoyo. Di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76, ia ingin generasi muda juga berperang. Ia ingin para kaum millenial berjuang melawan Covid-19 yang saat ini melanda negara Indonesia.
Ia bahkan berpesan, agar generasi muda bisa membantu pemerintah secara maksimal dalam menanggulangi Covid-19.
"Kalau dulu musuh itu terlihat, namun sekarang musuh kita itu tidak terlihat. Jangan menyerah, lawan," pungkasnya.
Kontributor: Apriskian Tauda Parulian