SuaraKaltim.id - Suku Dayak Tunjung merupakan salah satu suku bangsa dari sub rumpun Dayak di Kalimantan Timur (Kaltim) yang diduga menempati wilayah yang berpusat di Kerajaan Kutai Kartanegara.
Di masa lalu, masyarakat Dayak Tunjung ini memiliki sebuah kasta atau strata sosial atau pelapisan sosial di lingkungannya.
Ada perbedaan yang cukup jelas soal susunan pemerintahan desa adat yang menempati rumah adat atau disebut juga rumah Lamin.
Namun seiring berjalannya waktu, hilangnya pembagian kasta ini dipengaruhi oleh masuknya pemerintah Belanda ke daerah tempat tinggal mereka.
Baca Juga:Ngawat, Prosesi Meminta Bantuan pada Roh dalam Upacara Belian Bawo
Pemerintah Belanda kala itu menghapus sistem perbudakan dan juga melarang adanya tradisi
potong kepala atau mengayau yang dalam bahasa suku Dayak Tunjung disebut balaaq.
Lantas apa saja pembagian kasta masyarakat Suku Dayak Tunjung di masa lalu? Berikut penjelasannya:
a. Hajiq atau golongan bangsawan
Di golongan Hajiq ini terdiri dari raja beserta keturunannya, pengkawaq dan mantiq tatan dengan semua keturunan mereka.
Hajiq merupakan golongan teratas pada pelapisan sosial orang Tunjung.
b. Merentikaq atau golongan biasa
Baca Juga:Sejarah dan Asal Usul Nama Suku Dayak Tunjung, Disebut Jelmaan Para Dewa
Meerentikaq merentawai atau disingkat merentikaq adalah golongan merdeka
atau golongan biasa.
Mereka tidak termasuk golongan hajiq ataupun golongan hamba sahaya. Golongan merentikaq ini yang mempunyai hak untuk menarikan
tarian jalan Joget dan Calatn Carung, karena mereka turunan asli dari Sengkereag.
c. Ripat atau golongan hamba sahaya.
Golongan ripat ini mengabdikan diri mereka kepada golongan hajiq.
Adapun mengenai kasta sosial pada masa lalu itu, orang Tunjung mempunyai suatu cerita rakyat yang dihubungkan dengan peristiwa turunannya Moh Manar Bulatn ke dunia.
Ia kemudian kawin dengan Tulur Aji Jangkat atau pemimpin pertama Kerajaan Suku Dayak dan menjadi nenek moyang golongan bangsawan Tunjung.
Ringkasan ceritanya adalah ketika diturunkan bayi perempuan oleh dewa, yang konon kabarnya bayi ini dimasukkan ke dalam sepotong mas bambu.
Ruas bambu meledak dan pecah, orang kemudian menemukan seorang bayi perempuan di dekat pecahan bambu tersebut dan beranggapan bayi tersebut berasal dari dalam bambu yang meledak tersebut.
Setelah terjadi bunyi ledakan, dari atas awan terdengar suara dewa yang berkata bahwa siapa yang mendengar bunyi letusan bambu.
Kemudian orang-orang yang hadir ada yang menjawab mereka mendengar, dan ada pula kelompok yang menjawab mereka tidak mendengar bunyi sedikitpun.
Maka dewa berkata lagi siapa yang mendengar bunyi ledakan tadi akan menjadi hamba sahaya dan harus bekerja keras di dunia ini, dan siapa yang tidak mendengar bunyi ledakan akan menjadi pengkawaq, mantiq tatau, dan merentikaq.
Demikian permulaan cerita adanya kasta sosial menurut dongeng suku Tunjung dan tempat terjadi peristiwa ini disebut kemudian dengan nama bukit mangkuq hajiq dan di situ tumbuh sejenis bambu yang disebut Betui mangkuq hajiq.
Jadi menurut cerita rakyat tersebut, kasta sosial masyarakat Tunjung sudah ditentukan dewa pelindung mereka, dan bukan ciptaan manusia semata-mata.
Kontributor : Maliana