Menelusuri Jejak Austronesia pada Kepercayaan Kaharingan di Suku Dayak

Kelompok migrasi ini membawa suku Dayak menjadi etnis dengan ciri khas tertentu.

Eviera Paramita Sandi
Rabu, 29 Mei 2024 | 17:51 WIB
Menelusuri Jejak Austronesia pada Kepercayaan Kaharingan di Suku Dayak
Umat Hindu Kaharingan melaksanakan ibadah basarah dengan menerapkan jaga jarak fisik di Balai Basarah, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (16/7/2020) malam. [ANTARA FOTO/Makna Zaezar]

SuaraKaltim.id - Bangsa Austronesia merupakan kelompok etnis besar di benua Asia yang masih satu rumpun dengan berbagai suku di negara lain, termasuk suku Dayak di Pulau Kalimantan.

Suku Dayak merupakan pecahan dari kelompok-kelompok suku dari bangsa Austronesia yang ribuan tahun lalu melakukan migrasi ke Indonesia dan beberapa negara lainnya seperti China, Malaysia, dan Brunei.

Migrasi Austronesia ke Indonesia dipercaya menjadi migrasi terakhir yang meninggalkan Taiwan sekitar 3.000 tahun yang lalu. Migrasi ini dilakukan melalui jalur utara yang melewati Filipina sampai ke Sulawesi hingga ke Kalimantan.

Kelompok migrasi ini membawa suku Dayak menjadi etnis dengan ciri khas tertentu yang masih tetap dipertahankan dalam beberapa kepercayaan, salah satunya adalah kepercayaan agamanya.

Baca Juga:Kehidupan Suku Aborigin Formosa di Taiwan yang Mirip Suku Dayak di Kalimantan

Suku Dayak mengenal agama mereka dengan nama Kahuringan. Agama Kaharingan adalah salah satu agama aliran hindu yang berasal dari dari Bahasa Sangiang dari kata Haring yang berarti kehidupan.

Kaharingan adalah agama yang dijadikan sumber kehidupan yang mengalirkan air suci kehidupan dalam kuasa Ranying Hatalla Langit.

Kaharingan menjadi salah satu agama leluhur di Indonesia yang masih bertahan hingga kini dan masih dianut oleh beberapa Suku Dayak dengan banyak sub-suku kecil lainnya di Pulau Kalimantan.

Mereka menyebut nama agamanya sebagai "Kaharingan" yang diperoleh dari bahasa ritual 'haring' yang bermakna 'ada dengan sendirinya, tanpa pengaruh asing'.

Dalam perkembangannya, mereka menyebut Kaharingan berarti hidup. Menurut masyarakat Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen.

Baca Juga:Sejarah Mandau, Ternyata Berasal dari Nama Orang yang Pertama Kali Membuatnya

Tradisi yang unik dari masyarakat Dayak Ngaju penganut Kaharingan adalah perlakuan terhadap orang yang meninggal dunia.

Dalam konsep Kaharingan, sebuah kematian dianggap sebagai masa transisi dimana roh yang meninggal dunia harus dipersiapkan dan diantarkan menuju ke alam roh.

Sementara untuk sampai ke alam roh yang mereka percaya berada di Gunung Lumut itu, si arwah harus melalui beberapa perjalanan yang panjang dan penuh rintangan.

Perjalanan arwah dimulai ketika orang meninggal dunia dikuburkan dalam tanah dengan wadah kubur berupa raung atau peti mati berbentuk perahu.

Mereka percaya, arwah menuju ke alam roh harus menaiki perahu, karena untuk menuju ke gunung harus melewati sungai besar atau laut.

Kemudian, proses penguburan orang Dayak berorientasi barat timur dengan posisi kepala berada di sebelah timur sehingga ketika bangun menghadap ke barat.

Arah Barat sebagai sebagai arah matahari terbenam merupakan simbol arah kematian. Pada masa kemudian, ada gelombang kedatangan orang Austronesia yang mengenal penguburan dengan wadah menyerupai bentuk perahu.

Wadah penguburan tersebut masih berlangsung hingga kini, sekaligus menjadi simbol kendaraan arwah.

Dalam upacara adat Kaharingan, arwah leluhur hadir dengan menggunakan kendaraan berupa perahu arwah, jadi keberadan perahu ini juga berkaitan dengan perjalanan leluhur.

Kontributor : Maliana

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini