Hari Kemerdekaan yang Berbeda, Warga PPU Demo Minta Perlindungan dan Demokrasi

Tak ada kemewahan dan kehebohan. Masyarakat justru menjadikan momen peringatan kemerdekaan RI ke-79 untuk menyuarakan berbagai keresahan.

Denada S Putri
Sabtu, 17 Agustus 2024 | 14:40 WIB
Hari Kemerdekaan yang Berbeda, Warga PPU Demo Minta Perlindungan dan Demokrasi
Aksi organisasi masyarakat sipil dan warga PPU di Pantai Lango yang menuntut perlindungan serta demokrasi. [Ist]

SuaraKaltim.id - Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan warga Penajam Paser Utara (PPU), menggelar serangkaian kegiatan untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Namun, perayaan tersebut cukup berbeda.

Tak ada kemewahan dan kehebohan. Masyarakat justru menjadikan momen peringatan kemerdekaan RI ke-79 untuk menyuarakan berbagai keresahan tentang kerusakan lingkungan hidup dan pelemahan demokrasi di Indonesia.

Nampak pilihan masyarakat dari beberapa desa serta organisasi masyarakat sipil menggerai upacara bendera di kawasan Pantai Lango, Kecamatan Penajam. Dalam acara, terdapat bendera kain merah berukuran 50x15 dibentakangkan.

Ada corak tulisan putih berbunyi “Indonesia is not for sale, Merdeka!” di Jembatan Pulau Balang yang dipasang sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia. Sejumlah banner lain, terkembang dari atas perahu-perahu kayu masyarakat yang melakukan parade kemerdekaan di perairan di bawah jembatan.

Baca Juga:Dari 8.000 ke 1.300, Perubahan Besar Jumlah Tamu HUT RI di IKN karena Faktor Logistik

Bendera-bendera tersebut juga memiliki tulisan. Seperti, “Selamatkan Teluk Balikpapan”, “Tanah untuk Rakyat”, “Digusur PSN, Belum Merdeka 100%”, “Belum Merdeka Bersuara”, “79 Tahun Merdeka, 190 Tahun Dijajah”, dan lainnya.

Ketua Tim Kampanye Greenpeace Indonesia, Arie Rompas mengatakan, permintaan maaf Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato kenegaraannya kemarin tak ada artinya, setelah satu dekade Jokowi memimpin. Ia menyebut, di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia makin jauh dari cita-cita kemerdekaan.

Ia menyebut, di akhir masa jabatan, Jokowi justru mewariskan berbagai masalah ketidakadilan. Salah satunya soal Ibu Kota Nusantara (IKN).

“IKN yang dia banggakan nyatanya merupakan proyek serampangan dan ugal-ugalan yang merampas hak-hak masyarakat adat dan lokal, tapi memberikan karpet merah untuk oligarki.  Ibarat mengobral negara ini, Jokowi memberikan izin penguasaan lahan hingga 190 tahun untuk investor di Nusantara. Kerusakan lingkungan akibat pembangunan IKN juga akan berimbas memperparah krisis iklim,” kata Arie Rompas, melansir dari keterangan rilis yang diperoleh, Sabtu (17/08/2024).

Sebelum pembangunan IKN di Kalimantan Timur (Kaltim) pun, Pulau Kalimantan telah dieksploitasi. Kolusi pemerintah dengan oligarki sawit dan bubur kertas menjadi pendorong utama deforestasiseluas 15 juta hektare serta perampasan tanah masyarakat adat dan lokal.

Baca Juga:70% Warga Kaltim Hadiri Upacara HUT RI di IKN, Sisanya Undangan Khusus

Data Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, sekitar 20 ribu hektare hutan di area IKN hilang selama lima tahun terakhir. Total tutupan hutan alam yang tersisa di wilayah IKN hanya 31.364 hektare, termasuk kawasan hutan mangrove seluas 12.819 hektar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini