“Itu dalam konteks hukum. dalam konteks pribadi, belum ada sama sekali komunikasi secara pribadi atau terlapor,” ungkapnya.
Dugaan sementara, tim hukum paslon tersebut ingin memberikan efek jera kepada Akbar. Jumintar katakan, hal yang terpenting dari kasus ini adalah komunikasi antara terlapor dengan pelapor agar mereka bisa berdiskusi untuk mencari jalan keluar.
"Ini akan menjadi contoh buruk bagi nilai-nilai demokrasi kita ke depan," tegasnya.
Ia berharap, kritik yang diberikan masyarakat jangan sampai diakhiri pelaporan. Namun, diakhiri dengan berkomunikasi melalui metode diskusi, dialog atau lainnya.
Baca Juga:Difteri di Kaltim, Diskes Perkuat Kerja Sama Lintas Sektor untuk Pencegahan Efektif
"Karena, kritik merupakan bagian dari masyarakat untuk menyuarakan aspirasi kepada paslon untuk pembangunan Kaltim yang lebih baik" tegasnya.
Sebagai informasi, Akbar dikenal sebagai sosok aktivis vokal yang pernah menjabat sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Mulawarman (Unmul) pada 2018, dan Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kaltim pada 2022.
Sebagai aktivis, Akbar dikenal karena beberapa aksinya yang mengkritik kebijakan pemerintah. Jejak kritis Akbar terekam dalam terekam dalam berbagai pemberitaan media.
Ia menentang pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja, proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta mengkritik tindakan represif aparat dalam konflik di Pulau Rempang. Selain itu, Akbar juga kerap menyoroti masalah pengelolaan sumber daya alam di Kaltim yang dinilai tidak transparan.
Baca Juga:Investasi Kaltim Meningkat Pesat, Tembus Rp 55,82 Triliun di Triwulan III 2024