Zoom Fatigue ini diteliti oleh Jeremy N Bailenson dalam jurnal berjudul “Nonverbal Overload: A Theoretical Argument for the Causes of Zoom Fatigue” yang diterbitkan pada 23 Februari 2021. Ada 4 kemungkinan penjelasan terkait Zoom Fatigue yang disampaikan Jeremy. Yakni jumlah tatapan mata menghadap kamera yang berlebihan, beban kognitif, peningkatan evaluasi diri dari menatap video diri sendiri, serta kendala pada mobilitas fisik.
Secara fisik, siswa akan mengalami kelelahan. Mulai kelelahan di mata dan tubuh karena selalu berhadapan dengan gawai. Kemudian secara psikis, emosi yang bersangkutan mudah tersinggung dan labil. Walhasil jadi kurang istirahat.
Ada beberapa tips untuk meminimalisasi Zoom Fatigue. Yakni dengan cara mematikan kamera. Sejauh ini, jika tidak on cam di Zoom, maka akan dianggap tidak hadir.
Faktanya, berdasarkan penelitian yang dilakukan di luar negeri, mematikan kamera cukup ampuh. Namun dengan catatan, siswa harus tetap mengikuti dan menyimak penyampaian materi.
Baca Juga:Gubernur Isran Noor Mau Nyapres, Warganet Ramai Tanyakan Jalan Rusak dan Tambang Ilegal
“Jadi sebenarnya tidak harus kok selalu menyalakan kamera. Karena mereka itu melihat refleksi diri di komputer itu, secara psikis juga tidak nyaman. Mereka akan terus terpaku dengan tampilan diri di kamera,” bebernya.
Tips lainnya, beri jeda beberapa menit setelah menatap layar dan stretching beberapa menit sekali untuk mengurangi risiko Zoom Fatigue. Kebijakan untuk tidak on cam bisa dipertimbangkan. Terpenting, siswa terbukti hadir. Pengecualian jika harus ujian atau praktik tertentu yang mengharuskan kamera menyala.
“Orangtua juga harus memahami untuk mengingatkan anak melakukan kegiatan fisik. Misal tiap kali selesai pembelajaran, lakukan stretching, olahraga ringan, atau buat prakarya. Tidak melibatkan gawai sama sekali. Orangtua diharapkan bisa membantu,” tambahnya.
Berdasarkan jurnal penelitian berjudul “Gambaran Psikologis Siswa-Siswi SMA Selama Sekolah dari Rumah Akibat Pandemi Covid-19 di Indonesia” yang dilakukan Mutiara Andini dan Sri Redatin Retno Pudjiati menunjukkan bahwa kebijakan belajar dari rumah menimbulkan masalah baru pada siswa-siswi remaja SMA/SMK. Terlebih mereka rentan mengalami masalah psikologis dalam menghadapi berbagai perubahan.
Penelitian deskriptif dengan metode internet survei digunakan dalam penelitian ini. Partisipan berjumah 201 remaja berusia 14-18 tahun. Hasil menunjukkan siswa-siswi remaja SMA/SMK mengalami perasaan negatif seperti bosan (35.99%), lelah (24.84%), sedih (18.47%), dan khawatir (11.46%) selama sekolah dari rumah. Beberapa memiliki perasaan positif yaitu senang (8,60%) dan juga netral (0.64%). Perasaan negatif disebabkan karena berkurangnya interaksi tatap muka dengan guru dan teman, lebih banyak tugas yang diberikan, gangguan internet, dan banyaknya distraksi di rumah.
Baca Juga:Tren Kasus COVID-19 Menurun, Sekolah di Depok Kembali Gelar PTM